PALMA NON SINE PULPERE
TIDAK ADA KEBERHASILAN TANPA JERIH PAYAH
P. Thomas Sudarmoko, SVD
Misionaris Perintis
Menilik
sejarah perjalanan gereja di Paroki St. Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing, tidak
terlepas dari para misionaris perintis di wilayah ini. Sebut saja misalnya P.
Bong, MSF dan P. Huvang MSF. Mereka inilah di awal tahun tujuhpuluhan yang
mengawali misi Gereja Katolik di Paroki ini. Menurut catatan buku baptis,
baptisan pertama di stasi Diaq Lay. Pelayanan kala itu dilayani dari Paroki Katedral
Samarinda. Tahun 1986 para misionaris SVD melanjutkan misi ini dengan pelayanan
dari Tenggarong, baru pada tahun 1989 Paroki didirikan di Long Segar. Para
pastor SVD yang pernah melayani seperti P. Frans Tena, SVD, P. Felik Mado, SVD,
P. Paulus Payong, SVD,P. Ambrosius Pantola, SVD, P. Hendrik Meko, SVD, P. Gaby
Madja, SVD, P. Remygius
Ukat, SVD, dll. Dalam kurun waktu 1987-2003 pusat paroki di Long Segar, baru
pada tahun 2003 pusat paroki pindah ke Nehas Liah Bing. Alasan kepindahan ini
lebih pada alasan praktis, di mana konsentrasi umat berada di sekitar kecamatan
wahau.
Perkembangan
umat pun luar biasa, seiring dibukanya perusahaan-perusahaan, seperti pepatah
ada gula ada semut, demikian pula banyak orang yg datang ke tempat ini mengais
rezeki, membuat pertambahan jumlah umat juga sangat pesat. Beberapa stasi baru
terbentuk. Gereja pusat paroki hampir tidak bisa menampung jemaat lagi,
terlebih pada perayaan besar umat meluap sampai ke jalan-jalan dan lapangan
sekolah. Melihat kondisi demikian almarhum P. Remy beserta dewan merencanakan
pembangunan Gedung Gereja baru yang letaknya dekat lapangan Desa
Nehas Liah Bing, tapi karena satu dan lain hal, proses itu agak tersendat.
Pemindahan Lokasi Bangunan
Semula
tidak ada rencana sedikitpun untuk memindahkan lokasi bangunan, yang ada adalah
melanjutkan pondasi yang sudah ada dengan memperluas lahan, karena lahannya
terlalu sempit dan mudah terkena banjir. Ketika
melakukan negosiasi dengan pemilik lahan, sang pemilik meminta terlalu
mahal, hingga kami mengatakan tidak berani membelinya. Hingga pada suatu sore
ketika kami (saya, fr. Romy, SVD dan Kris Joka) berangkat tourne melintas di
hulu kampung Selabing saya melihat lahan kosong yng masih semak belukar di
tempat yang tinggi dan bebas banjir. Saya nyletuk: “Bagaimana
kalau gereja dipindah di sini saja ya?” saya menunjuk sebelah kiri jalan dari
arah Selabing. Kata Kris Joka:” Sebelah kiri itu dekat sungai pastor, bagusnya
sebelah kanan saja”. Lalu kami sambil jalan berdiskusi. Saya merasa sangat tertarik
dengan lokasi itu.
Pulang dari tourne, saya kumpulkan beberapa
tokoh umat untuk mengidentifikasi lahan milik siapa, bermasalah atau tidak, dan
bagaimana cara bisa mendekati pemilik itu supaya mau menjual untuk Gereja.
Awalnya cukup alot karena pemilik tidak mau menjual, tapi dengan diberi
pemahaman oleh beberapa tokoh umat (Pk. Siang, Pk. Heang
Tung, Pk. Bit Tot) dan dengan bantuan doa devosi kepada Arnoldus Janssen (
pendiri SVD), pemilik itu mau menjual, dan tidak lama berselang setelah
prosedur semua dilalui lalu dilakukanlah transaksi jual beli. Setelah
itu dilakukan penggusuran meratakan lahan,dalam hal ini Pak Siang Geah menjadi
koordinator lapangan yang luar biasa. Tidak lama setelah itu ada lagi yang
menawarkan tanah yang nyambung dengan lokasi ini. Sehingga lahan ini terjadi
dua kali pembelian dalam satu hamparan.
Modal Nekat
Setelah
memiliki lahan yang bagus, masalahnya adalah bagaimana membangun? Ini yang
membuat pusing tujuh keliling. Dengan keyakinan ala St. Arnoldus yakni bahwa
dana ada di kantong para penderma, maka gerakan itu kami mulai.
Saya mulai kontak sana-sini untuk dapat donasi. Setelah itu maka proses
pembangunan pun dimulai. Namun untuk memulai pembangunan ini tidak gampang.
Saya pastor muda, baru beberapa bulan menjabat sebagai pastor paroki, sehingga saya
pun belum berpengalaman sebagai pastor paroki, apalagi membangun bangunan
besar, sehingga wajar banyak orang meragukan saya. Saya harus dua kali datang
ke Samarinda untuk menjelaskan tentang pembangunan ini. Pertama saya datang
sendiri, Ketika itu Bp. Uskup Agung sedang Ad Limina (Menghadap Paus) di Roma,
maka saya menghadap P. Yan Ola, Pr. Dengan garang Beliau membentak saya.” Siapa
yang menjadi jaminan pembangunan ini?”. Saya Bingung mau jawab apa, saya pikir
siapa lagi kalau bukan saya sebagai pastor paroki. Maka saya jawab
sekenanya:”Saya, Pastor”. Makin Marahlah Beliau. ” Memangnya Kamu tidak Bisa
Mati?!”. Beliau bertanya sambil membentak dengan kacamata miring dan mata
melotot. Mendapat pertanyaan diluar dugaan dengan cara demikian membuat saya gugup
dan down. “Minggu depan bawa dewanmu untuk menjelaskan pembangunan ini di rapat
dewan konsultores”. Demikian kesimpulan pertemuan itu. Saya keluar ruangan P.
Yan Ola di Bina Insan dengan lesu. Saya terbayang jalan yang buruk kala
itu,maklum waktu itu curah hujan tinggi sekali, kondisi jalan Samarinda-Wahau
sangat buruk dan jaraknya sangat jauh, sampai 2 atau 3 hari baru tembus. Saya
capek, lelah, mudik lagi, turun lagi, bawa dewan lagi, nginap-nginap di jalan
karena antrean kendaraan akibat jalan buruk, sedangkan saya dalam kondisi sakit
diabetes yang lagi kambuh. Saya hampir putus asa:”untuk apa saya bangun gereja
kalau hanya stress begini?” Memang kalau tidak mau stress jangan buat apa-apa.
Dengan
perasaan galau, esoknya saya mudik. Hari Sabtu tiba di Paroki, Minggu sesudah
pimpin misa, Kami berangkat ke Samarinda lagi untuk menghadap Dewan
Konsultores. Kali ini saya di temani Pk. Siang Geah dan Pk. Kristian Paipinan.
Kami Tiba Senin Malam, dan Esoknya kami disidang. Setelah diskusi yang cukup
alot, Bapa Uskup Agung memberi angin segar dan dukungan kepada kami, ini
membuat kami semangat. Akhirnya kami disetujui untuk memulai pembangunan.
Padahal waktu itu proses pembangunan sudah dimulai. Pulang ke Wahau kami
menginap di jalan karena hujan, jalan buruk dan licin sehingga mobil tidak bisa
tembus. Keesokan harinya, siang setelah jalan kering baru kami lanjutkan
perjalanan, itupun dengan susah payah, sehingga malam baru bisa sampai.
Ooohhhh, betapa lelahnya....gula langsung naik drastis.
Proses Pembangunan
Pada
tanggal 20 Oktober 2011 peletakan batu pertama itu dimulai. Mengingat waktu yg
mendesak dan kondisi jalan buruk itu, kami dengan terpaksa tidak meminta Bp.
Uskup meletakkan batu pertama pembangunan, tapi saya letakkan sendiri dan tentu
dihadiri oleh umat. Dalam peletakan itu
saya selipkan juga batu yg saya bawa dari Danau Galilea di mana Yesus
mengatakan kepada Petrus:” Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan
Jemaat-Ku”. Dengan doa:” Ya Bapa, Berkatilah semua orang yang membantu proses
pembangunan ini, dan kutuklah orang yang menghalang-halangi pembangunan ini”
Rupanya doa ini cukup manjur, kelak sampai pembangunan selesai lancar-lancar
saja, tanpa ada yang mengganggu. Semua berjalan lancar, ada kendala tapi dapat
diatasi.
Kini,
setelah satu tahun proses pembangunan ini, akhirnya hari ini tanggal 06
Desember 2012, gedung gereja dan pastoran diberkati dan di resmikan oleh Bp.
Uskup Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus, MSF. Bagi yang tidak aktif
terlibat, hanya melihat hasil tanpa melihat proses, memang gampang, tetapi bagi
orang yang terlibat aktif, betapa proses pembangunan ini tidak mudah,
melelahkan, belum lagi mengurus pelayanan umat yang wilayahnya luas dan
medannya menantang, sendirian, sakit-sakitan, memang tidak gampang. Memang
benar kata pepatah bahasa latin kuno: ”Palma Non Sine Pulpere”, tidak
ada keberhasilan tanpa perjuangan.
Dalam
kesempatan yang baik ini saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Tuhan yang telah campur tangan
dalam proses pembangunan ini sehingga berjalan lancar.
2.
Mgr. Sului Florentinus, MSF.
Dan Dewan Consultores yang selalu memberi dukungan kepada kami.
3.
Para donatur yang senantiasa
membantu kami dalam proses pembangunan ini.
4.
Pihak Kontraktor dan para
tukang yang telah mengerjakan bangunan ini
5.
Seluruh DPP, DPS dan semua umat
yang terlibat dalam pembangunan ini.
Dengan diberkati dan diresmikannya pembangunan
ini bukan berarti semua menjadi selesai, melainkan masih banyak pekerjaan lain
yang telah menanti. Pembangunan lain yang bersifat fisik maupun yang bersifat
rohani. Semoga gedung gereja ini dapat membantu semua orang yang datang untuk
mencari dan menemukan Allah dalam doa-doa mereka. Oleh karena itu gereja ini
bukan milik satu kelompok, melainkan milik semua umat tanpa membedakan latar
belakang suku, adat dan budaya. Dan dalam kesempatan ini saya secara khusus mau
mengucapkan banyak terima kasih dan mengapresiasi penuh kepada Bpk. Emerikus
Siang Geah yang telah all out
membantu saya, konsisten dan memiliki loyalitas dan komitmen tinggi terhadap
gereja, kapan saja beliau saya perlukan selalu siap sedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar