Sebuah Catatan Tentang Suku Dayak
WEHEA
Sabtu
(24/05/14)
Menyebut
WEHEA pada sekian tahun lampau tentulah terasa sangat asing. Nama apa lagi ini?
Apakah ini sebuah komunitas baru yang karena situasi tertentu kemudian
dimunculkan, atau sebenarnya memang benar-benar telah ada sejak perpuluh tahun
atau telah ada sejak berabad lampau.
WEHEA,
sebuah nama yang sangat asing yang kemudian muncul ke permukaan, mengapung
setelah lama tenggelam atau terbenam ke dasar informasi sehingga tidak pernah
muncul atau diketahui public.
Mengingat
WEHEA tentunya tidaklah sulit, sebuah nama dari sebuah komunitas masyarakat
hukum adat yang masih ada dan hidup ditengah masyarakat yang saat ini semakin homogeny,
hanya lima huruf dan tentunya yang luar biasa adalah setelah lama tenggelam,
nama itu begitu semarak disebutkan dalam beberapa tahun terakhir.
Disebut
karena kearifan tradisional yang mereka miliki dalam beragam aturan-aturan
adatnya, dalam ragam ritualnya yang menarik dan exotis dan juga diingat karena
ketertinggalan yang dialami mereka.
Mengutip
barisan terakhir pada kalimat diatas, sebuah Tanya patut dialamatkan kepada
seluruh masyarakat hukum adat WEHEA mengapa mereka tertinggal? Mengapa? Dan Mengapa?
WEHEA,
nama itu kini tidak asing lagi. Sebuah sejarah baru ditegakan, bersamaan dengan
pendeklarasian secara adat melalui sebuah ritual suci dalam sebuah sumpah adat
yang dilaksanakan ditengah rimba yang akhirnya dinamai dengan nama suku mereka,
telah membuka tabir hidup dalam sebuah balutan kearifan yang lama tersimpan,
bahwa mereka sebenarnya lekat dengan wilayah ini, lekat dengan segala kekayaan
yang tersimpan didalamnya, lekat dengan masa lalu dan satu hal yang menjadi
ironi dari kesemuanya itu adalah lekat dengan ketertinggalan.
Menyebut
WEHEA, benar bahwa mereka erat dengan ketertinggalan dalam beragam aspek
kehidupan. Ketertinggalan dalam hal ini perlu ditegaskan bukan karena kesetiaan
mereka akan tradisi warisan leluhur mereka dengan ragam kekayaan tradisi serta
kearifan tradisional yang mereka miliki, yang coba diungkap disini adalah
ketertinggalan mereka akan beragam aspek dan salah satu hal penting yang perlu
kami tekankan disini adalah aspek sumberdaya manusia.
Mengapa
aspek ini menjadi penting? SDM bak musuh yang terus menghantui setiap insan
WEHEA, sejak masa lalu, saat ini dan dimasa depan. Mengapa? Karena membandingkan
masyarakat hukum adat WEHEA dengan beragam masyarakat lainnya di wilayah ini,
dalam wilayah komunal (wilayah adat) mereka yang tersebar mulai dari wilayah
perbatasan dengan Kampung Merapun di Kabupaten Berau hingga ke wilayah KEHAM
yang berbatasan dengan Batu Ampar di bagian hilir, membandingkannya dan kita
menemukan sebuah fakta menyedihkan bagaikan bumi dengan langit.
Kembali
mengungkap fakta, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Beberapa sumber lisan
mengungkap bahwa terdapat sebuah scenario besar yang memang menginginkan hal
tersebut terjadi. Alam mereka boleh kaya, tetapi SDM mereka jangan sampai luar
biasa, agar mudah untuk ditundukan. Itulah ungkapan yang pernah didapatkan dan
melihat hal tersebut kita perlu berbalik pada periode kelam disekitar dekade
1970-an.
Saat
awal masuknya investasi di wilayah tersebut, tepatnya saat beroperasinya PT.
AVDECO, sebuah perusahaan perkayuan (HPH), mereka hanya dimasukan pada kelas
pekerja khusus untuk mengupas kulit kayu. Tidak lebih dan tidak kurang. Pada perjalanan
selanjutnya, sedikit naik kelas, mulai ada warga WEHEA yang akhirnya menjadi
tenaga administrasi dan lain-lain. Mengapa ini terjadi? Seorang mantan pekerja
pada tahun 1980-an menuturkan bahwa pada saat itu sangat sulit untuk mencari
orang-orang Dayak WEHEA yang sekolah tinggi, yah, minimal lulus SMP atau SMA.,
sehingga akhirnya perusahaan lebih cenderung menerima warga lainnya, baik lokal
maupun dari luar daerah yang bukan WEHEA.
Menilik
kembali sebuah cerita lama, dimana seorang pejabat secara “kasar” dilengserkan
dari jabatannya karena nekad untuk membangun sekolah pada wilayah-wilayah
komunitas termasuk desa-desa dalam komunitas WEHEA. Sebuah tragedi itu terjadi
pada awal dekade 1980-an yang akhirnya pasca diresmikannya sekolah dasar yang
salah satunya berada di Nehas Liah Bing, pejabat bersangkutan benar-benar
dilengserkan dari jabatannya dan diganti justru oleh krooni petinggi yang
ternyata sangat tidak pro poor dan tidak pro komunitas lokal.
Menurut
beberapa cendekia lainnya disampaikan bahwa pada masa itu, terjadi sebuah “pertempuran
politik” lokal yang sangat kental bernuansa kedaerahan, dimana terdapat
kelompok masyarakat lokal lainnya yang secara SDM sudah sangat baik hingga
menguasai berbagai instansi strategis yang memang sangat tidak menginginkan
manusia-manusia komunitas lokal seperti Dayak WEHEA untuk menjadi orang atau
manusia pintar, agar mereka gampang untuk menipu dan/atau membodohi para
manusia dari komunitas lokal tersebut yang sebenarnya adalah benar-benar
pemilik dan yang empuhnya wilayah ini.
Sejarah
dan fakta diputarbalikan dengan begitu gambling seolah merekalah pemilik
wilayah ini, yang dengan kekayaan SDM-nya telah mengobrak-abrik dan
menghancurkan sebuah tatanan sistem yang ada di wilayah ini pada masa lalu
hingga akhirnya, deklarasi Hutan Lindung WEHEA seolah menjadi gong pembuka dan
awal perjalanan Komunitas Dayak WEHEA untuk bangkit dan berjuang merebut kembali
apa yang mereka miliki, sekaligus berjuang untuk mengejar segala ketertinggalan
yang mereka alami.
Keberadaan
beberapa organisasi non pemerintah seperti The Nature Conservancy dan World
Education sejak pertengahan tahun 2000-an telah membangkitkan sebuah spirit
baru, terutama dalam upaya untuk membantu mengkampanyekan keberadaan dan
eksistensi masyarakat hukum adat WEHEA serta juga berupaya tentunya dengan
penuh tantangan dalam mengejar ketertinggalan bagi masyarakat komunitas
terutama dalam aspek pendidikan.
Sebuah
niat baik dan tulus tentunya akan mendapatkan dukungan dari beragam pihak, yang
akhirnya juga turut didukung oleh berbagai stake holders lainnya di wilayah ini
seperti pihak ketiga atau perusahaan untuk membantu mendorong serta
meningkatkan kualitas SDM masyarakat WEHEA.
Tetapi
sebuah pertanyaan lain juga patut dikemukan. Apakah dukungan lembaga-lembaga
seperti LSM (ornop) serta pihak perusahaan akan berhasil? Tentu perlu ditunggu
hasilnya, karena keberhasilan untuk membangun SDM WEHEA bukan hanya datang dari
pihak luar tetapi juga harus menjadi sebuah komitmen bersama dari seluruh
masyarakat adat WEHEA. Hal tersebut menjadi sangat penting, karena mengingat
perjalanan komunitas ini begitu lama telah terombang-ambing dalam sebuah
bahtera ketidakpastian akibat dikotomi atau pengkotakan yang telah mereka alami
dimasa lalu.
Ledjie
Taq, seorang tokoh masyarakat WEHEA yang juga merupakan Kepala Adat Desa Nehas
Liah Bing menuturkan bahwa dahulu, mereka harus bisa berenang dulu baru bisa
sekolah, jika tidak, mereka akan tetap terus menjadi manusia buta huruf. Mengapa?
Karena sekolah hanya khusus dibangun untuk warga diseberang kampung Nehas Liah
Bing, sedangkan disini memang sengaja tidak dibangun sekolah, jadi apakah itu
bukan sebuah upaya pembodohan yang sistematis? Tanya Ledjie Taq.
Menyimak
kalimat diatas, jika tidak ingin terlambat, adalah kini saatnya para manusia
WEHEA untuk bahu membahu mengejar ketertinggalan terutama dari aspek SDM
mereka, untuk dapat setara dengan masyarakat lainnya minimal di wilayah ini
agar kelak dapat bersaing ditengah pusaran kemajuan global.
Sudah
saatnya mulai didoktrin tentang pentingnya pendidikan dan itu harus dibangun
dari dalam sel terkecil yaitu keluarga. Orang tua harus berani dan tegas kepada
anak-anaknya agar berusaha bersama dalam upaya membangun dan meningkatkan
pendidikan, setelah itu masyarakat serta lingkungan juga harus bisa memberikan
pengaruh-pengaruh positif kepada anak-anak usia sekolah karena jika tidak,
mereka juga akan terjerumus pada sebuah jurang yang sama, yaitu jurang
kebodohan.
Pada
sisi lainnya, peran para leader atau pemimpin desa, mulai dari lembaga adat,
pemerintah desa, BPD, organisasi pemuda serta tokoh-tokoh masyarakat harus
dapat seia sekata untuk mengatakan TIDAK pada kebodohan dan ketertinggalan SDM
dan mereka harus menjadi aktor-aktor kunci untuk menjadi pelecut bagi anak-anak
dan generasi muda agar bersama membangun dan mengejar ketertinggalan SDM.
Bagian
terakhirnya adalah sekolah. Sebuah praktek “pembodohan” yang pernah diterapkan
harus dibasmi hingga ke akar-akarnya, sehingga sekolah yang datang jam 8 dan
pulang jam 11 tidak boleh terjadi lagi di BUMI WEHEA, karena itu adalah sebuah
contoh dari upaya pembodohan yang secara sistematis sengaja dilakukan agar
anak-anak WEHEA tetap bodoh dan tertinggal. Jika kedisiplinan anak-anak untuk
bersekolah menjadi persoalan, insan sekolah sudah seharusnya menggandeng orang
tua, lembaga adat, pemerintah desa, BPD dan tokoh-tokoh masyarakat untuk segera
mengatasi dan mencari solusinya, sehingga pola belajar 8-11 yang terjadi dapat
dihilangkan.
Pada
aspek lainnya, Lembaga Adat harus berani secara tegas untuk membangun sebuah consensus
bersama masyarakat agar dapat memberikan sanksi seberat-beratnya kepada para
orang tua yang tidak serius mendukung upaya meningkatkan pendidikan masyarakat
WEHEA, karena jika “luka” dibadannya sendiri tidak disembuhkan maka alangkah
sulitnya untuk maju mengejar ketertinggalan itu.
Disaat
ini, sebuah ketegasan dari orang tua dan masyarakatnya sangat diperlukan untuk
segera menghentikan pembiaran-pembiaran agar tidak terjadi lagi anak-anak yang
gagal bersekolah karena terjadi kecelakaan akibat pergaulan bebas dengan hamil
diluar nikah, terjerumus ancaman narkoba dan lain-lain. Sekali lagi, bahwa
perlu ada ketegasan yang harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat
komunitas Dayak WEHEA agar SDM tidak hanya menjadi jargon semata tetapi
benar-benar menjadi sebuah spirit bersama untuk menata kembali kehidupan
masyarakat WEHEA dalam mengejar ketertinggalannya terutama terkait dengan
pendidikan, sehingga mimpi dan harapan agar kelak sumberdaya manusia WEHEA maju
tidak hanya menjadi slogan-slogan kosong tetapi benar-benar menjadi nyata.
Akhirnya
kepada para manusia-manusia WEHEA yang mungkin telah sukses, baik sebagai Dosen
di Samarinda, maupun para mahasiswa-mahasiswi yang saat ini tersebar di
Sangatta, Samarinda, Surabaya, Jakarta dan Yogyakarta, kalian adalah awal dan
pembuka jalan, kembalilah untuk membangun komunitas kalian dan janganlah tidur
ketika kalian berlibur ke kampung halaman kalian dan mulailah untuk membangun
hal-hal positif agar mimpi akan kesetaraan dapat kalian gapai. Semoga…..