Selasa, 10 April 2012

Peran Orang Tua dalam Membina Iman Anak

Keluarga sedang “diserang”
Mungkin kalimat “keluarga sedang diserang” terlihat terlalu bombastis dan tidak realistis, karena ada sebagian dari kita yang merasa bahwa keluarganya baik-baik saja. Namun, kalau kita mengetahui hakekat dan tujuan keluarga Katolik yang sebenarnya, maka sudah seharusnya kita melihat bahwa ancaman terhadap keluarga- keluarga Katolik adalah sesuatu yang nyata terjadi di sekitar kita.  Terlebih lagi, jika kita juga menyadari tanggung jawab orang tua dalam pendidikan iman anak, maka kita akan semakin waspada akan ancaman ini, dan mengusahakan semampu kita agar jangan sampai kita jatuh dan ‘menyerah’ pada keadaan.
Jika kita melihat dunia di sekitar kita, kita dapat dengan jujur melihat bahwa ada begitu banyak perkawinan yang hancur. Kehancuran perkawinan ini bukan hanya menimpa teman atau kerabat yang jauh, namun juga telah menimpa sahabat dan saudara yang dekat dengan kita. Berapa banyak dari kita yang melihat bahwa anak-anak teman atau saudara kita yang kehidupannya berantakan, terjebak narkoba dan seks bebas, bahkan sampai pernah dipenjara. Mungkin kita juga sering melihat ada begitu banyak anak yang lahir dari keluarga Katolik, namun akhirnya berpindah ke gereja lain atau mungkin ke agama lain, atau mungkin menjadi ateis. Inilah kondisi yang dialami oleh orang tua di zaman sekarang, yang akarnya adalah karena orang tua tidak cukup melaksanakan pendidikan iman Kristiani kepada anak- anak sejak sedini mungkin. Memang dapat dikatakan bahwa di jaman sekarang, membesarkan anak-anak dan menanamkan iman Kristiani dalam diri mereka menjadi lebih sulit, karena kondisi dunia sekarang memang sering bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Bahkan dinamika kehidupan di dalam rumah kita sendiri sering menambah sulitnya penerapan nilai- nilai Kristiani. Kondisi macet, kesibukan orang tua, pengaruh mass media, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’, adalah beberapa contohnya, mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak- anak dalam keluarga, terutama dalam hal iman.
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, “Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ”
Ungkapan ini adalah suatu ironi, namun menyiratkan keputus asaan orang tua, atau penyesalan bahwa segala sesuatunya sudah terlanjur. Kita harus mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai anak- anak kita bertumbuh menjadi semaunya dan ‘tak terkendali’, lalu kita hanya dapat menyesalinya. Selalu ada yang dapat kita lakukan untuk mencegah hal- hal yang buruk terjadi pada anak- anak kita, dan kita dapat memulainya dengan langkah sederhana: yaitu dengan setia menanamkan iman kepada anak- anak kita sejak mereka masih kecil. Harapannya ialah, setelah mereka tumbuh remaja dan dewasa, mereka dapat menjadi pribadi- pribadi yang utuh, beriman dan bertanggungjawab.
Bagaimana melawan serangan dari luar dan membangun keluarga kristiani dari dalam?
Ibarat sebuah rumah, maka keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dan dasar pondasi yang kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan kita (lih. Mat 7:24-27). Keluarga adalah tempat pertama bagi anak- anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktekkannya. Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih Allah, dan mendidik anak- anak agar mengenal dan mengasihi Allah dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dimulai dengan mengasihi orangtua, kakak dan adik, teman- teman di sekolah, pembantu rumah tangga dan sopir, dst. Jadi adalah tugas orang tua, untuk membentuk karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi yang mengutamakan Allah dan perintah- perintah-Nya. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, agar ingat akan kehadiran Tuhan di dalam hidup mereka, supaya anak- anak dapat dengan spontan bersyukur, memohon perlindungan dan pertolongan kepada-Nya?
Agaknya perlu kita ingat bersama, mengapa semua hal ini menjadi penting dan harus kita lakukan. Ya, karena kita semua, baik masing- masing maupun sebagai keluarga, kita harus mengingat bahwa tujuan hidup kita yang terakhir adalah Surga. Kita percaya bahwa Tuhan menghendaki kita bersatu dengan Dia di surga, maka kita harus berjuang bersama- sama untuk mencapainya, tentu dengan bantuan rahmat Tuhan.
Tujuan utama pendidikan Kristiani
Dengan tujuan akhir manusia adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga,[1] maka pendidikan anak secara umum harus mengarah kepada pembentukan pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak mereka dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Jadi tugas orang tua adalah menghantar anak- anak agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sudahkah para orang tua menyadari tugas yang mulia ini?
Selanjutnya, mungkin kita bertanya, jika tujuan pendidikan Kristiani adalah surga, bagaimanakah cara untuk mencapainya? Gereja Katolik, melalui Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa anak- anak dapat dihantar untuk mencapai surga, jika mereka diperkenalkan kepada misteri keselamatan, iman, kekudusan agar siap memberikan kesaksian akan pengharapan imannya. Dan dalam hal ini, penerimaan sakramen dan perayaan liturgi menjadi penting, karena di sanalah kita semua menerima rahmat Allah yang menguduskan itu:
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Selain itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …” [2]
Di samping itu, orang tua juga harus mendidik anak- anak agar mengenal dan menerapkan nilai- nilai yang paling esensial dalam hidup manusia, yaitu bahwa setiap manusia itu berharga di mata Tuhan, tidak peduli apakah rasnya, agamanya, atau pekerjaannya. Dengan demikian, anak- anak diajar untuk menghargai orang- orang di sekitarnya, terutama yang kurang beruntung dibandingkan dengan mereka. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan demikian:
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.” [3]
Adalah suatu permenungan, sejauh manakah kita sebagai orang tua mengajarkan hal ini kepada anak- anak? Jangan sampai anak- anak kita hanya menghargai orang berdasarkan penampilan, atau anak- anak begitu tergiur dengan barang- barang yang mahal- mahal, sehingga tidak mampu lagi menghargai kesederhanaan dan ketulusan.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
Mengingat pentingnya tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya dilaksanakan secara Kristiani, maka penting digarisbawahi di sini peran orang tua sebagai pendidik utama anak- anak. Gereja Katolik mengajarkan demikian:
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius  untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka”[4]. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain[5].
Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan iman anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.
Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dan seterusnya.
Bagaimana menanamkan pendidikan iman pada anak- anak
1.     Doa bersama sekeluarga dan mendampingi anak- anak menerima sakramen- sakramen
Doa adalah nafas iman. Maka jika kita ingin menanamkan iman kepada anak- anak, pertama- tama adalah kita harus mengajari mereka berdoa, dan bukan hanya mengajari saja, kita perlu berdoa bersama- sama dengan mereka. Dalam setiap keadaan, baik susah ataupun senang di dalam keluarga, kita perlu berdoa. Dalam keadaan bersuka cita kita mengucap syukur kepada Tuhan; dan dalam keadaan berduka, kesulitan, sakit, kita memohon pertolongan-Nya. Firman Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Flp 4:6) Selanjutnya, para orang tua juga perlu mempersiapkan anak- anak untuk menerima sakramen- sakramen. Paus Paulus VI mengajarkan:
“Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak- anak doa- doa Kristiani? Apakah engkau bersama dengan para imam, mempersiapkan anak- anak untuk … sakramen- sakramen Pengakuan dosa, Komuni, dan Penguatan? Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapa, apakah engkau berdoa bersama dengan anak- anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.” [6]
Di samping penting bagi pertumbuhan iman anak, doa keluarga juga memegang peran yang penting untuk mempersatukan keluarga. Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan hal yang serupa, dengan mendorong keluarga- keluarga untuk bersama- sama membaca dan merenungkan Kitab suci, mempersiapkan diri sebelum menerima sakramen- sakramen, melakukan doa pernyerahan keluarga kepada Hati Kudus Yesus, doa penghormatan kepada Bunda Maria, doa sebelum dan sesudah makan dan doa devosi lainnya. [7]. Mengulangi ajaran Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II juga menyerukan pentingnya doa rosario bersama keluarga untuk memupuk kerukunan dan menumbuhkan kehidupan rohani dalam keluarga. Doa bersama sekeluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, firman Allah digenapi dalam keluarga itu, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” (Mat 18:19-20) Tak heran, Bunda Teresa mengajarkan, “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.”[8].
Sayangnya, kecenderungan yang terjadi sekarang adalah keluarga tidak menyediakan waktu yang khusus untuk berdoa apalagi merenungkan firman Tuhan bersama- sama. Padahal sejak usia dini, anak- anak umumnya mempunyai kehausan untuk mengenal firman Tuhan. Ada banyak keingintahuan anak- anak tentang banyak hal, terutama juga tentang Tuhan dan kisah- kisah di dalam Kitab Suci. Sebagai orang tua, kita harus menanggapi kerinduan jiwa mereka untuk mengenal Tuhan. Orang tua adalah pewarta Injil yang pertama bagi anak- anak mereka.[9] Sekolah ataupun Bina Iman dapat membantu, namun tidak dapat menggantikan peran orang tua dalam hal ini.
Demikian pula, perhatian terhadap sakramen juga perlu ditingkatkan di dalam kehidupan keluarga. Sebab nampaknya ada kecenderungan bahwa orang tua tidak memberi perhatian khusus untuk mempersiapkan batin anak- anak sebelum mereka menerima sakramen- sakramen. Berapa banyak orang tua yang membimbing anak- anaknya memeriksa batin sebelum menerima sakramen Pengakuan Dosa? Banyak orang tua merayakan ulang tahun anak- anaknya, bahkan di hotel berbintang sekalipun, namun berapa banyak orang tua yang merayakan ulang tahun anaknya dengan mengajukan ujud ucapan syukur pada Misa Kudus? Atau merayakan Baptisan anak-anaknya, Komuni Pertama ataupun sakramen Penguatan, walaupun hanya dengan doa sederhana di rumah? Padahal makna Baptisan jauh lebih berharga dan bahkan tak bisa dibandingkan dengan makna perayaan ulang tahun. Karena Baptisan menghantarkan ke kehidupan surgawi yang kekal, bukan hanya merayakan pertambahan tahun kita hidup di dunia ini. Lalu, ada banyak orang tua mementingkan acara ‘berkeliling makan’ setiap minggunya, di satu restoran ke restoran yang lain, mall yang satu ke mall yang lain, namun apakah orang tua rajin mempersiapkan batin anak- anaknya, dan diri mereka sendiri, untuk mengikuti perayaan Ekaristi? Misalnya dengan merenungkan bacaan Injil hari Minggu pada hari Sabtu malam ataupun Minggu pagi sebelum ke gereja?
Dalam hal ini, peran ayah/ bapa cukup penting, yaitu sebagai imam di dalam keluarga. Para bapa dipanggil untuk memimpin keluarganya untuk tetap tinggal di dalam Tuhan. Hal ini dapat diwujudkan dengan cara- cara sederhana, misalnya; para bapa memimpin doa keluarga, entah pada pagi atau malam hari; bapa memberkati anak- anaknya dengan tanda salib di dahi sebelum anak berangkat ke sekolah; bapa membacakan kisah Kitab Suci kepada anak- anak dan menjelaskannya, bapa menyiapkan anak- anak untuk menerima sakramen dengan penuh rasa syukur dan seterusnya. Tentu saja, ini mensyaratkan bahwa para bapa (dan juga ibu) menghayati iman Katolik agar penghayatan ini dapat dibagikan kepada anak- anak.
2.     Orang tua harus mengusahakan suasana kasih dan kebersamaan di rumah
Kasih orang tua merupakan elemen dasar dan sumber yang menentukan kualitas peran orang tua sebagai pendidik[10]. Suasana kasih harus ada di dalam rumah kita, agar kita dapat mendidik anak- anak kita dengan baik. Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama -dalam hal ini para anggota keluarga di rumah- sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan. [11]
Selanjutnya, maksud bahwa kasih orang tua adalah dasar bagi pendidikan anak, adalah kasih itu harus menjiwai semua prinsip pendidikan anak, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. [12] Kasih yang rela berkorban ini menjadi dasar yang menghidupi keluarga, sehingga keluarga menjadi gambaran akan Gereja yang dihidupi oleh kasih pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah antara lain, yang menjadikan keluarga menjadi Ecclesia domestica (Gereja kecil/ Gereja rumah tangga).[13] Atas prinsip ini, kita sebagai orang tua harus memikirkan apakah yang terbaik bagi anak menurut kehendak Tuhan, dan bukan sekedar apakah yang disenangi anak. Sebab umumnya apa yang terbaik bagi anak menuntut pengorbanan dari orang tua. Sebagai contohnya adalah bahwa orang tua perlu meluangkan waktu bagi anak- anak, agar dapat mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka dari hati ke hati. Komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga. Waktu kebersamaan ini memang idealnya dilakukan setiap hari, misalnya setiap makan malam, atau sebelum doa malam. Namun juga pada waktu akhir pekan, pada hari Minggu, atau terutama juga pada saat liburan sekolah, orang tua perlu menyediakan waktu untuk anak- anak, berlibur bersama anak- anak. Tidak perlu di tempat yang mahal- mahal, namun perlu diusahakan waktu kebersamaan, di mana anak- anak dapat bermain bersama orang tua, tertawa bersama, saling curhat dan mendengarkan satu sama lain.
Dalam saat- saat seperti inilah umumnya, orang tua dapat sedikit demi sedikit ‘masuk’ dalam memberikan pengajaran, entah dari kata- kata atau dari teladan, tentang kebaikan Tuhan, tentang kehadiranNya dalam hidup kita, dan tentang pentingnya iman dalam kehidupan ini. Saat- saat inilah orang tua dapat mengajarkan tentang kehadiran Allah dalam hal- hal yang sederhana, lewat alam ciptaan di sekitar kita dan lewat orang- orang yang kita jumpai. Inilah kesempatan orang tua mengajarkan kepada anak- anak untuk mengucap syukur, jika melihat pemandangan yang indah, jika dapat makan makanan yang enak, jika dapat bermain dengan seru dengan teman- teman yang baru, dan seterusnya.  Jika anak- anak sudah dapat mengalami kehadiran Tuhan dalam hal- hal sederhana, maka besar kemungkinan mereka akan mempunyai kepekaan untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan dan berkeinginan untuk melaksanakan kehendak-Nya.
3.     Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani
Dalam suasana kasih inilah, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan seterusnya. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.
Untuk menanamkan kebajikan Kristiani inilah orang tua mengambil bagian di dalam otoritas Allah Bapa dan Kristus Sang Gembala; dan juga di dalam kasih keibuan Gereja.[14] Artinya, orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih. Jadi dalam penerapannya adalah, orang tua boleh tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak kita. Selanjutnya, setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya. Maka tujuan koreksi tersebut adalah pertama- tama bukan supaya mereka takut kepada kita orang tuanya, tetapi supaya anak- anak dapat mengetahui bahwa  perbuatan salahnya itu mendukakan hati Tuhan.
4.     Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Selanjutnya, dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II adalah:
1)     keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan;
2)     hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita,
3)     pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa;
4)     pendidikan tentang kemurnian (chastity);
5)     pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertindak dengan penuh tanggungjawab.[15].
Maka, pertama- tama, orang tua perlu mengajarkan tentang prinsip keadilan yang menghormati setiap orang, terutama mereka yang memerlukan perhatian dan bantuan kita secara khusus. Contohnya, anak- anak yang lebih besar harus diajarkan untuk melindungi adik- adiknya atau anak- anak yang lebih kecil. Atau anak- anak harus diajarkan untuk menghormati dan memberi perhatian kepada opa dan oma, terutama jika opa dan oma sudah tua. Menggandeng tangan mereka, mengajak mereka bicara adalah suatu contoh yang sederhana. Anak- anak juga harus diajarkan untuk bersikap sopan kepada orang- orang yang lebih tua, termasuk juga pembantu rumah tangga dan sopir. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk bersikap peka untuk membantu orang- orang yang memerlukan bantuan, misalnya menghibur jika ada anggota keluarga yang sakit, mendoakan orang- orang lain yang sedang kena bencana, memberi sedekah kepada orang miskin dan seterusnya. Anak- anak juga perlu diajarkan untuk menghargai kehidupan manusia, dan bahwa manusia terbentuk sejak dalam kandungan ibu, sehingga kelak anak- anak memahami bahwa bukan hak mereka untuk mengakhiri hidup manusia, entah melalui aborsi atau euthanasia.
Kedua, orang tua perlu memberikan teladan kepada anak- anak, bahwa ‘memberi adalah suka cita’. Ini sangat penting, untuk membentuk karakter anak agar murah hati dan tidak egois. Anak- anak perlu diingatkan bahwa mereka bukan ‘pusat dunia’, atau king or queen of the universe. Anak- anak perlu diajarkan agar senang berbagi, sebab segala yang dimilikinya adalah berkat ‘titipan’ Tuhan. Ingatkan kepada anak- anak bahwa: “… Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Kor 9:7) ‘Memberi’ di sini, mempunyai arti luas, tidak hanya benda materi, namun juga suka cita, kasih, dan pengampunan.[16]

Ketiga, pendidikan seksualitas pada anak juga perlu mendapat perhatian, yang dapat disampaikan sesuai dengan umur anak. Jangan sampai seksualitas dibatasi menjadi sensualitas; namun harus mencakup keseluruhan pribadi seseorang, tubuh, jiwa maupun emosi. Penghayatan macam ini melihat bahwa secara kodrati ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan, yang bukan saja berkaitan dengan jenis kelaminnya, tetapi menyangkut keseluruhan pribadinya. Jadi sejak kecil anak- anak laki- laki harus diajarkan untuk misalnya, tidak memukul perempuan, namun harus melindungi anak- anak perempuan. Anak- anak harus diajarkan untuk menghormati “privacy“, menghormati tubuh dengan tidak mempermainkan organ- organ seksual. Anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, tempat kediaman Roh Kudus, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor 6:19-20, 3:16). Dalam hal ini anak- anak perlu diingatkan bahwa tubuh mereka adalah milik Allah, jadi kita harus menghormati dan menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. Penghormatan terhadap tubuh ini menghantar kepada prinsip berikutnya, yaitu tentang kemurnian.
Maka prinsip keempat tentang pendidikan tentang kemurnian/chastity berhubungan dengan seksualitas. Jika anak- anak sudah diajarkan bahwa tubuh ini adalah bait Allah, selanjutnya anak- anak perlu diingatkan untuk menjaga kekudusan tubuhnya sebagai bait Allah ini; dan selanjutnya juga untuk menghormati kekudusan tubuh orang lain. Hal ini dapat dimulai dengan memberikan pengarahan sederhana kepada anak- anak, terutama kepada anak- anak perempuan agar memakai pakaian yang sopan, yang tidak serta merta mengikuti mode pakaian yang tidak mendukung anak untuk menjunjung tinggi kemurnian. Dalam hal ini penting pendekatan ibu kepada anak- anak perempuan, dan bapa kepada anak- anak laki- laki, agar mereka dapat diarahkan untuk memandang tubuh mereka sebagai anugerah dari Tuhan yang harus mereka jaga kesuciannya sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Menjadi relevan di sini adalah jika kita mendorong mereka untuk mencontoh teladan Bunda Maria dan Santo Yosef, yang menjaga kemurnian tubuh mereka, demi mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan.

Terakhir, orang tua perlu memberikan pengarahan tentang pendidikan moral kepada anak- anak, supaya anak- anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Pegangan yang paling praktis memang adalah kesepuluh perintah Allah, dan orang tua dapat membaca penjabarannya dalam Katekismus Gereja Katolik, no. 2083- 2557. Namun yang terpenting adalah, bagaimana menyampaikan intinya kepada anak- anak dengan bahasa yang dapat dipahami oleh anak- anak, agar anak- anak dapat memahaminya dan menjadikannya sebagai pegangan hidupnya.  Selanjutnya tentang menanamkan tanggung jawab pada anak- anak, dapat dimulai dari hal- hal yang sederhana, seperti merapikan tempat tidur sendiri, membawa piring kotor maupun pakaian kotor ke tempat cuci, merapikan buku- buku ataupun mainan yang baru selesai dipakai, dst. Anak- anak juga perlu dilatih untuk menerima konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya, terutama jika mereka melakukan kesalahan. Konsekuensi ini bukan semata- mata untuk menghukum, tetapi untuk menyadarkan bahwa setiap keputusan yang kita ambil dan perbuatan yang kita lakukan mempunyai akibat, dan kita harus menanggungnya. Kesadaran ini akan membuat anak melakukan segala sesuatunya dengan penuh tanggungjawab, karena sejak kecil anak terbiasa untuk berpikir jauh ke depan sebelum bertindak. Contoh yang paling umum untuk menerapkan konsekuensi pada anak adalah menahan ‘privilege‘ mereka untuk sementara waktu; misalnya jika mereka berkata kurang ajar/ melawan orang tua, maka konsekuensinya, mereka tidak mendapat uang jajan/ uang jajan dikurangi untuk beberapa hari. Namun, sebelum diberikan sangsi, orang tua sudah harus memberitahukan ‘aturan main’ ini pada anak, sehingga mereka tidak terkejut dan protes. Pada saat aturan ini diberlakukan, orang tua harus tetap menunjukkan kasih kepada anak- anak, sehingga anak- anak tahu bahwa konsekuensi ini dilakukan bukan karena orang tua membenci anak, tetapi karena orang tua sedang membentuknya untuk menjadi orang yang lebih baik.
5.     Pengajaran tentang iman dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama-sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ kerabat/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka. Atau mengajak anak- anak bermain bersama, entah main monopoli, main kartu, atau main bulutangkis, namun kemudian mengajarkan anak- anak untuk bersikap sportif; mengakui kelebihan orang lain -jika ia kalah-, dan tidak boleh sombong dan meremehkan orang lain, jika ia menang.
Setelah anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa.  Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.
6.     Orang tua bertanggungjawab untuk membentengi anak terhadap pengaruh buruk lingkungan sekitar
Menyadari akan kuatnya pengaruh negatif dari mass media maupun lingkungan pergaulan di sekitar kita, orang tua harus mempunyai perhatian untuk turut menyeleksi hal- hal tersebut demi anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst. Orang tua juga perlu menyeleksi bacaan/ majalah yang ada di rumah; misalnya para bapa tidak membeli majalah/ bacaan kaum pria yang seolah menyajikan tubuh wanita sebagai ‘obyek’ sensualitas, dst.
Mungkin perlu juga mendapat perhatian, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak dan remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi  jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.
7.     Orang tua mengarahkan anak- anak untuk mempersembahkan diri dan talenta yang dimilikinya untuk membangun Gereja.
Adalah penting bagi orang tua untuk mengenali bakat dan kemampuan khusus anak- anaknya dan mengarahkan mereka untuk mengembangkannya demi kemuliaan Tuhan. Maka jika anak berbakat musik, entah menyanyi atau bermain alat musik, gabungkanlah mereka kepada kelompok koor di gereja. Jika anak pandai berolah raga, gabungkanlah ia dalam grup olah raga anak- anak dan remaja; jika belum ada di paroki anda, mulailah bersama dengan beberapa keluarga yang lain. Jika anak pandai menulis/ mengarang, doronglah anak untuk mengirimkan karangannya ke redaksi majalah di paroki. Jika anak berminat untuk berorganisasi, gabungkan mereka dalam kegiatan organisasi paroki, seperti putra- putri altar/ SEKAMI (Serikat Kepausan Anak dan remaja Misioner), Legio Mariae (mini), dst. Anak- anak perlu diajarkan untuk mengenal, mencintai iman Katolik agar mereka dapat hidup sesuai dengan imannya, mempertahankan imannya dan mewartakannya.[17]
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Sedini mungkin mereka harus menyadari bahwa selain menjadi anggota keluarganya sendiri, ia merupakan anggota keluarga Allah yang lebih besar, yaitu Gereja. Sehingga jika ia aktif mendukung Gereja, artinya ia turut memuliakan Allah yang mendirikannya.
8.     Orang tua mengarahkan anak untuk menemukan panggilan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan sejatinya
Akhirnya, penting bagi orang tua untuk membantu anak- anak menemukan panggilan hidupnya, entah panggilan hidup berkeluarga maupun hidup selibat untuk Kerajaan Allah. Walaupun nampaknya masih ‘jauh’ ke depan, namun orang tua perlu mempersiapkan anak- anak tentang hal ini. Orang tua perlu memiliki kelapangan hati untuk memperkenalkan panggilan hidup membiara kepada anak- anak; dan memupuk hal tersebut, jika orang tua melihat adanya benih panggilan itu tumbuh dalam diri sang anak. Katekismus jelas mengajarkan demikian, “…. Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani.” [18]. Tentu dalam hal ini, kita orang tua perlu memiliki sikap kemurahan hati, dan kesadaran bahwa anak- anak adalah titipan Tuhan, sehingga jangan sampai kita berpandangan, “Semoga Tuhan memanggil banyak orang muda untuk menjadi imam, tetapi jangan anak saya….” Mari kita memohon kepada Tuhan agar kita dimampukan untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang, manakah yang terbaik demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita sekeluarga dan sekalian umat beriman. Sebab dengan demikian, kita akan mempunyai sikap yang lebih terbuka dalam mengarahkan anak- anak menemukan panggilan hidup mereka; dan dengan lapang hati dan suka cita, mendukung keputusan mereka, tanpa memaksakan kehendak kita sebagai orang tua. Berbahagialah para orang tua yang mendukung anak- anaknya jika mereka terpanggil untuk mempersembahkan diri seutuhnya untuk Kerajaan Allah; sebab sesungguhnya dengan demikian, orang tua juga mempersembahkan yang terbaik, yaitu buah hati mereka, kepada Tuhan. Percayalah Tuhan akan melipatgandakan suka cita dan kebahagiaan sejati bagi keluarga- keluarga tersebut, baik di dunia ini maupun di Surga kelak.

Kesimpulan: Mari memohon rahmat Tuhan untuk melaksanakan tugas mulia ini
Sungguh besarlah peran orang tua dalam mendidik anak- anak, membentuk karakter dan membina iman mereka, serta mengarahkan mereka kepada Kerajaan Surga. Namun kita percaya bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Rahmat-Nya selalu tercurah kepada kita melalui Gereja-Nya, yang secara khusus kita terima di dalam sakramen- sakramen, dalam doa dan permenungan akan Sabda-Nya. Dengan rahmat Tuhan inilah kita dimampukan untuk membangun keluarga kita atas dasar yang kuat. Oleh kasih karunia-Nya, kita dimampukan untuk teguh di dalam iman dan melaksanakannya dengan suka cita. Pengalaman akan kasih Allah dan mengasihi Allah inilah yang menjadi tali pengikat di dalam keluarga, sehingga apapun serangan dari luar tidak akan menggoyahkannya.

Catatan:
Artikel ini ditulis untuk rekoleksi orang tua dari anak-anak penerima komuni pertama, tanggal 22 Mei 2011 di Paroki Santo Thomas Rasul, Bojong.

CATATAN KAKI:
1.      lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 1: “Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia  sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.
2.      Ibid
3.      Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37
4.      Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36
5.      lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36, 40
6.      Paus Paulus VI, Audiensi Umum, 11 Agustus 1976, Familiaris Consortio,  60
7.      lih. Familiaris Consortio 61
8.      Mother Teresa’s Address to the United Nations, October 26, 1985
9.      lih. Familiaris Consortio 39
10. lih. Familiaris Consortio, 36
11. lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3
12. lih. Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36
13. lih. Familiaris Consortio, 49
14. lih. Familiaris Consortio 38
15. lih. Familiaris Consortio 37
16. lih. KGK 1657
17. lih. Familiaris Consortio, 54

KGK 1656, lih. Konsili Vatikan II tentang Gereja, Lumen Gentium 11,2
Sumber: katolisitas.org       

    Mengapa OMK Perlu Memahami Imannya?

    “Malu bertanya, sesat di jalan”

    Pernahkah anda ‘nyasar‘ ketika sedang dalam perjalanan? Coba kita ingat- ingat, bagaimana rasanya, tentu tidak enak bukan? Bisa jadi kita sudah mempunyai peta ke tempat tujuan itu, tetapi karena satu dan lain hal, eh kita masih bisa kesasar di tengah jalan. Misalnya, jika kita terlalu asyik mengobrol dengan teman seperjalanan, tahu- tahu kita menikung, padahal seharusnya lurus. Jika ini yang terjadi, umumnya yang kita lakukan adalah bertanya kepada orang lain yang kita jumpai, agar kita memperoleh petunjuk tentang jalan mana yang harus kita tempuh agar sampai ke tujuan kita.
    Dalam kehidupan kita di dunia, hal yang serupa juga terjadi. Sebab sesungguhnya hidup kita di dunia ini adalah perjalanan yang seharusnya menghantar kita ke tujuan akhir, yaitu kebahagiaan abadi di Surga. Oleh karena itu, tidak usah heran, bahwa di dalam hati setiap orang selalu ada keinginan untuk hidup bahagia. Jujur saja, bukankah semua orang, baik tua maupun muda, ingin bahagia? Tetapi, harus diakui, bahwa untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini  gampang- gampang susah. Sebabnya adalah:  dunia di sekitar kita banyak menawarkan kebahagiaan yang palsu, yang sifatnya se-saat saja, seperti permen yang manis di luar, tetapi pahit di dalam. Sehingga ada banyak orang tertipu, dan akhirnya tidak bahagia.
    Nah, supaya kita benar- benar bisa hidup bahagia, kita perlu petunjuk; dan petunjuk ini kita dapatkan dari Tuhan Yesus, yang masih terus hadir dan mengajar melalui Gereja yang didirikan-Nya, yaitu Gereja Katolik. Dengan menaati ajaran Gereja-Nya inilah kita pasti akan sampai kepada tujuan akhir kita, di mana kita akan mencapai puncak kebahagiaan yang kita rindukan, yaitu saat kita bersatu dengan Tuhan dan memandang wajah-Nya yang sesungguhnya (lih. 1 Yoh 3:2). Dunia ini boleh memberikan banyak tawaran, supaya kita lengah dan menyimpang dari tujuan akhir itu, tetapi jika kita tetap berpegang kepada ajaran iman kita yang kita peroleh dari Gereja-Nya, maka kita punya pengharapan yang besar, kita tidak akan nyasar, atau jika sekalipun nyasar, maka segera dapat kembali menemukan jalan yang benar.
    Semua orang ingin hidup bahagia

    Katekismus Gereja Katolik mengajarkan kepada kita bahwa keinginan untuk hidup bahagia itu berasal dari Tuhan (lih. KGK 1718). Tuhanlah yang menanamkan keinginan tersebut di dalam hati setiap orang, supaya kita dapat datang mendekat kepada-Nya, sebab hanya Tuhan satu- satunya yang dapat memenuhi kebahagiaan itu dengan sempurna. Ada semacam kata- kata mutiara, yang ditulis oleh St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas, yang berbunyi demikian:
    Kita semua ingin hidup bahagia; di keseluruhan umat manusia, tidak ada seorangpun yang tidak setuju dengan pendapat ini, bahkan sebelum keinginan ini sepenuhnya tercapai.[1].
    Lalu, bagaimana bisa terjadi, bahwa aku mencari Engkau, ya Tuhan? Sebab dengan mencari Engkau, Tuhanku, aku mencari kebahagiaan hidup…[2].
    Tuhan sendirilah yang memuaskan- God alone satisfies.[3]
    Jangan memakai resep sendiri, tetapi pakailah resep Tuhan
    Meskipun kita tahu bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya hanya diperoleh di dalam Tuhan, ada banyak orang berusaha mencari dan menentukan sendiri kebahagiaannya. Mungkin bagi orang muda, kebahagiaan disamakan dengan jalan- jalan bersama teman- teman, main game yang seru di komputer, sukses di sekolah maupun di pekerjaan, bisa berpenampilan OK, atau dapat pacar yang keren. Lalu, bagaimana jika semua itu tidak kita peroleh, apakah lalu kita punya alasan untuk tidak bahagia? Apakah kita akan kehilangan jati diri karenanya? Kabar baik yang Tuhan beri kepada kita adalah: kita tidak perlu takut kehilangan jati diri. Sebab kita semua diciptakan oleh Tuhan secara istimewa menurut gambaran-Nya (lih. Kej 1:26). Coba sejenak kita bayangkan seseorang yang paling mengasihi kita di dunia ini…. Nah, kasih Tuhan jauh melebihi kasih orang itu kepada kita. Buktinya, Tuhan bukan saja mengaruniakan banyak hal kepada kita dan mengabulkan permohonan kita, tetapi, lebih daripada itu: Ia menyerahkan Putera-Nya yang Tunggal demi menyelamatkan kita.
    Ya, kita semua dikasihi-Nya dengan luar biasa, sehingga Allah Bapa mengutus Yesus Putera-Nya yang Tunggal untuk menjadi manusia dan wafat bagi kita, supaya oleh Dia, dosa- dosa kita diampuni dan kita semua dapat diangkat untuk menjadi anak- anak-Nya. Kasih Tuhan inilah yang menghendaki agar kita dapat bersatu dengan-Nya, baik di dunia ini, maupun di surga kelak. Oleh karena itu, kebahagiaan yang sesungguhnya sebenarnya tidak terbatas pada apa- apa yang dapat kita lihat dan rasakan di dunia ini, tetapi terutama adalah yang berkaitan dengan kehidupan kekal di surga kelak. Yesus bersabda, “….carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33). Tuhanlah yang menciptakan kita dan terlebih dahulu mengasihi kita; oleh karena itu wajarlah jika Ia ingin agar kita mengenal dan mengasihi-Nya juga. Karena kasih-Nya, Ia ingin agar kita hidup bahagia, maka jika kita ingin benar- benar bahagia, kita harus memperhatikan ‘resep‘ yang diberikan Tuhan ini, yaitu yang pertama- tama kita harus mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya. Resep berikutnya dari Tuhan adalah: sesungguhnya Ia menghendaki agar semua orang dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya (lih. 1 Tim 2:4). Jadi sudah menjadi kehendak Tuhan agar kita membagikan Kabar Gembira ini kepada orang- orang di sekitar kita, agar merekapun dapat masuk dalam Kerajaan-Nya.
    Semua orang dipanggil untuk masuk dalam Kerajaan Allah
    Setiap orang dipanggil Allah untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya (lih. KGK 543). Walaupun pertama- tama kabar ini diberikan kepada bangsa Israel, tetapi sesungguhnya Kerajaan ini dimaksudkan Allah untuk menerima semua bangsa. Untuk masuk ke dalam Kerajaan ini, pertama- tama kita harus menjadi anak-anak Allah, yang ‘dilahirkan kembali dari Allah’ (lih. KGK 526). Kelahiran kembali di dalam Tuhan Yesus kita peroleh dalam sakramen Baptis. Selanjutnya, kita harus menerima sabda Yesus dengan iman, dan dengan demikian kita menjadi seperti tanah gembur yang menerima benih, sehingga kelak menghasilkan buah yang banyak (lih. Lumen Gentium 5, Mrk 4:14, 26-29, Luk 12:32).
    ‘Buah yang banyak’ ini juga dijanjikan oleh Yesus kepada semua orang yang tinggal di dalam Dia (lih. Yoh 15:4-5). Artinya, jika kita ingin membuat hidup ini berarti dan membawa manfaat bagi diri kita dan orang lain, maka kita perlu hidup bersama Yesus, dan tinggal di dalam Dia, seperti ranting- ranting pohon yang bersatu dengan batang pohon. Nah, untuk itu kita perlu bertanya kepada diri kita: sejauh mana kita sebagai ranting- ranting Kristus bersatu dengan Dia, di dalam doa, membaca, merenungkan dan melaksanakan Sabda-Nya, dan dalam menerima sakramen- sakramen-Nya? Sejauh mana kita hidup saling mengasihi dengan sesama saudara di dalam Kristus?
    Siapa yang memegang kunci Kerajaan Allah
    Sabda Allah memberitahukan kepada kita bahwa di awal kehidupan-Nya di muka umum, Yesus memilih dua belas rasul untuk mengambil bagian dalam perutusan-Nya (lih. Mrk 3:13-19). Kristus memperbolehkan mereka mengambil bagian dalam kuasa-Nya dan mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan menyembuhkan orang sakit (lih. Luk 9:2). Melalui mereka dan para penerus merekalah Kristus memimpin Gereja-Nya. Maka, tak mengherankan, jika Sabda Tuhan mengajarkan, bahwa tiang penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja, yaitu jemaat Allah yang hidup (lih. 1 Tim 3:15). Jangan lupa, bahwa Kristus telah memilih Rasul Petrus sebagai pemimpin Gereja-Nya, “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat 16:18-19). Jadi, kita ketahui bahwa Kristus telah memberikan kunci Kerajaan Allah ini kepada Rasul Petrus (lih. Mat 16:19), dan dengan demikian mempercayakan kepemimpinan jemaat-Nya di dunia ini kepada Rasul Petrus. Kuasa ‘mengikat dan melepaskan’ adalah kuasa mengajar umat-Nya yang diberikan kepada para rasul (lih. Mat 18:18) demikian pula dalam hal pengampunan dosa (lih. Yoh 20:21-23), namun terutama kepada Rasul Petrus, sebagai pemimpin para rasul.
    Jika kita merenungkan hal ini, maka kita akan mengetahui bahwa Kristus mendirikan satu Gereja (jemaat), dan menghendaki agar jemaat-Nya bersatu di bawah pimpinan Rasul Petrus dan para rasul. Sebab Tuhan Yesus menghendaki agar Gerejanya tetap ada sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20), maka kepemimpinan Rasul Petrus dan para rasul ini juga terus berlangsung melalui para penerus mereka sampai akhir zaman. Nah, sekarang, Gereja (jemaat) manakah yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus? Jawabnya lugas dan sederhana: Gereja Katolik. Gereja Katolik sekarang dipimpin oleh Paus Benediktus XVI, yang merupakan penerus Rasul Petrus, yang jika diurut dari Rasul Petrus, menempati urutan ke 266.
    Mengalami Kerajaan Allah di dunia ini di dalam Gereja Katolik
    Maka dengan menjadi Katolik, kita sesungguhnya sangat diberkati oleh Tuhan. Betapa tidak, kita termasuk di dalam anggota Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri! Kita menerima kepenuhan rahmat Allah yang dijanjikan Tuhan Yesus melalui kehadiran-Nya di dalam Gereja-Nya. Dengan kehadiran-Nya ini, Kerajaan Allah sudah dapat kita alami di dunia ini. Sebab di mana Yesus meraja, di sanalah hadir pula Kerajaan-Nya yang tak terpisahkan dari-Nya. Kristus meraja dalam Gereja-Nya, dalam pewartaan Sabda-Nya, dalam sakramen- sakramen-Nya secara khusus dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan cara yang unik yang dikehendaki-Nya, untuk tetap hadir di tengah- tengah Gereja-Nya. Jadi setiap kita menyambut Ekaristi, kita menyambut Yesus dan Kerajaan-Nya (lih. KGK 1380). “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” (Luk 22:19; 1 Kor 11:24) demikian pesan Yesus kepada para rasul-Nya. Jika kita menghayati makna ini, kita tidak akan malas ataupun terpaksa ikut perayaan Ekaristi/ Misa.
    Dalam Ekaristi, Kerajaan Allah bukan saja hanya dekat, tetapi malah menghampiri dan bersatu dengan kita. Saat kita menerima Ekaristi, Kerajaan Allah hadir di dalam kita di sini dan sekarang (‘here and now’), yang merupakan gambaran jaminan kemuliaan Kerajaan Surgawi yang akan datang (lih. KGK 1402, 1419)  Ekaristi memampukan kita untuk tinggal di dalam kasih dan berbuat kasih, sehingga dengan demikian kita dapat menjadi saksi yang hidup tentang kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini. Nah, mari kita memeriksa sikap dan perbuatan kita sehari- hari: Sudahkah kita melakukan panggilan Tuhan ini, yaitu untuk menyambut-Nya dalam Ekaristi dan menjadi saksi akan kasih Allah yang kita terima? Bagaimana sikap kita terhadap orang tua, kakak, adik, teman, guru, pembantu dan orang- orang di sekitar kita? Sebab setelah menerima benih kasih dan Firman Allah di dalam hati kita, kitapun dipanggil Allah untuk turut bekerja sama dengan Dia menaburkan benih tersebut di dalam hati sesama. Dengan demikian kasih Tuhan dan Kerajaan-Nya dapat dialami oleh semakin banyak orang, dan semakin banyak orang memuliakan nama-Nya.
    Kesimpulan: Mari mendalami iman Katolik
    Jika kita menyadari bahwa Kristus hadir di tengah- tengah kita sebagai anggota Gereja-Nya, maka hal yang harus kita lakukan selanjutnya adalah bagaimana kita mensyukurinya, menghayatinya dan mewartakannya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa kalau kita ‘tak kenal maka tak sayang’. Bukankah ini sungguh benar? Jika kita mau menghayati kehadiran Kristus, mengalami Kerajaan-Nya yang hadir di dalam hati kita dan di dalam Gereja-Nya, maka pertama- tama kita perlu mengenal atau mengetahui iman Katolik sehingga kita dapat mengasihinya. Sebab Kristus hanya mendirikan satu Gereja, dan Gereja-Nya itu didirikan di atas Rasul Petrus (Mat 16:18), yang diberi kuasa oleh Kristus untuk ‘mengikat dan melepaskan’ (lih. Mat 16:19), artinya untuk mengajar dan memimpin umat-Nya. Dengan demikian, jika kita ingin sungguh- sungguh mengalami Kristus yang hadir di tengah kita dan mengajar kita, maka kita perlu mendengarkan ajaran Gereja Katolik. Selanjutnya, yang terpenting adalah bukan hanya sekedar mendengarkan, namun juga mempelajarinya dan melaksanakannya. Dengan demikian, kita dapat sungguh- sungguh hidup dan tinggal di dalam Kristus, yang menjadikan hidup kita menghasilkan buah yang limpah. Di dalam Kristus kita tidak akan tersesat, melainkan kita akan menemukan arti hidup dan mencapai tujuan hidup kita, yaitu kebahagiaan sejati. Inilah alasannya mengapa kita semua, terutama kaum muda, perlu memahami ajaran iman kita. Jangan menunggu sampai umur kita sudah lanjut baru mau mempelajari iman kita. Mari memberikan yang terbaik kepada Tuhan, yaitu: kasih kita kepada-Nya, sejak masa muda kita, dan seterusnya!
    Appendix
    KGK 1718 Sabda bahagia sesuai dengan kerinduan kodrati akan kebahagiaan. Kerinduan ini berasal dari Allah. Ia telah meletakkannya di dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diri-Nya, karena hanya Allah dapat memenuhinya….
    KGK 526 “Menjadi anak” di depan Allah adalah syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan surga (Bdk. Mat 18:3-4). Untuk itu, orang harus merendahkan diri (Bdk. Mat 23:12), menjadi kecil; lebih lagi: orang harus “dilahirkan kembali” (Yoh 3:7), “dilahirkan dari Allah” (Yoh 1:13), supaya “menjadi anak Allah” (Yoh 1:12).
    KGK 543 Semua orang dipanggil supaya masuk ke dalam Kerajaan. Kerajaan mesianis ini pertama-tama diwartakan kepada anak-anak Israel (Bdk. Mat 10:5-7), tetapi diperuntukkan bagi semua orang dari segala bangsa (Bdk. Mat 8:11; 28:19). Siapa yang hendak masuk ke dalam Kerajaan itu, harus menerima sabda Yesus.
    “Memang, sabda Tuhan diibaratkan benih, yang ditaburkan di ladang (lih. Mrk 4:14); mereka yang mendengarkan sabda itu dengan iman dan termasuk kawanan kecil Kristus (lih. Luk 12:32), telah menerima Kerajaan itu sendiri. Kemudian benih itu bertunas dan bertumbuh atas kekuatannya sendiri hingga waktu panen (lih. Mrk 4:26-29)” (Lumen Gentium 5).
    KGK 1380 Adalah sangat layak bahwa Kristus hendak hadir di dalam Gereja-Nya atas cara yang khas ini. Karena Kristus dalam rupa yang kelihatan [saat itu hendak] meninggalkan mereka yang menjadi milik-Nya, maka Ia hendak memberi kepada kita kehadiran sakramenal-Nya; karena [saat itu hendak] Ia menyerahkan diri di salib untuk menyelamatkan kita, Ia menghendaki bahwa kita memiliki tanda kenangan cinta-Nya terhadap kita, yang dengannya mengasihi kita “sampai kesudahannya” (Yoh 13:1), bahkan sampai kepada menyerahkan hidup-Nya. Di dalam kehadiran-Nya dalam Ekaristi, Ia tinggal dengan cara yang rahasia di tengah kita sebagai Dia, yang telah mengasihi kita dan telah menyerahkan diri untuk kita (Bdk. Gal 2:20), dan Ia hadir di dalam tanda-tanda yang menyatakan dan menyampaikan cinta kasih ini.
    “Gereja dan dunia sangat membutuhkan penghormatan kepada Ekaristi. Di dalam Sakramen cinta ini Yesus sendiri menantikan kita. Karena itu, tidak ada waktu yang lebih berharga daripada menemui Dia di sana: dalam penyembahan, dalam kontemplasi dengan penuh iman, dan siap untuk memberi silih bagi kesalahan besar dan ketidakadilan yang ada di dunia. Penyembahan kita tidak boleh berhenti” (Yohanes Paulus II, surat Dominicae cenae, 3).
    KGK 1402 Di dalam satu doa tua Gereja memuji misteri Ekaristi: “O perjamuan kudus, di mana Kristus adalah santapan kita; kenangan akan sengsara-Nya, kepenuhan rahmat, jaminan kemuliaan yang akan datang”. Karena Ekaristi adalah upacara peringatan Paska Tuhan, dan karena kita, oleh “keikutsertaan kita pada altar… dipenuhi dengan semua rahmat dan berkat surgawi” (MR, Doa Syukur Agung Romawi 96), maka Ekaristi adalah juga antisipasi kemuliaan surgawi.
    KGK 1419 Oleh karena Kristus telah pergi dari dunia ini kepada Bapa-Nya, maka dalam Ekaristi, Ia memberi kepada kita jaminan akan kemuliaan-Nya yang akan datang. Keikutsertaan dalam kurban kudus membuat hati kita menyerupai hati-Nya, menopang kekuatan kita dalam peziarahan hidup ini, membuat kita merindukan kehidupan abadi, serta menyatukan kita sekarang ini dengan Gereja surgawi, Perawan Maria yang kudus, dan dengan semua orang kudus.
    Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium 9:
    “Sesungguhnya akan tiba saatnya – demikianlah firman Tuhan, – Aku akan mengikat perjanjian baru dengan keluarga Israel dan keluarga Yuda … (Yer 31:31-34). Perjanjian baru itu diadakan oleh Kristus, yakni wasiat baru dalam darah-Nya (lih. 1Kor 11:25). Dari bangsa Yahudi maupun non- Yahudi, Ia memanggil suatu bangsa, yang akan bersatu padu bukan menurut daging, melainkan dalam Roh, dan akan menjadi umat Allah yang baru. Sebab mereka yang beriman akan Kristus, yang dilahirkan kembali bukan dari benih yang punah, melainkan dari yang tak dapat punah karena sabda Allah yang hidup (lih. 1Ptr 1:23), bukan dari daging, melainkan dari air dan Roh kudus (lih. Yoh 3:5-6), akhirnya dihimpun menjadi “keturunan terpilih, imamat rajawi, bangsa suci, umat pusaka – yang dulu bukan umat, tetapi sekarang umat Allah”(1Ptr 2:9-10).
    Kepala umat masehi itu Kristus, “yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan demi pembenaran kita” (Rom 4:25), dan sekarang setelah memperoleh nama – berdaulat dengan mulia di sorga. Kedudukan umat itu ialah martabat dan kebebasan anak-anak Allah. Roh kudus diam di hati mereka bagaikan dalam kenisah. Hukumnya adalah perintah baru untuk mengasihi, seperti Kristus sendiri telah mengasihi kita (lih. Yoh 13:34). Tujuannya [adalah] Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia, untuk selanjutnya disebarluaskan, hingga Ia membawanya mencapai kesempurnaan pada akhir jaman, ketika Kristus, hidup kita, menampakkan diri (lih. Kol 3:4), dan “makhluk sendiri akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan memasuki kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Rom 8:21). Oleh karena itu umat masehi, meskipun kenyataannya tidak merangkum semua orang, dan tak jarang nampak sebagai kawanan kecil, namun bagi seluruh bangsa manusia merupakan benih kesatuan, harapan dan keselamatan yang kuat. Terbentuk oleh Kristus sebagai persekutuan hidup, cinta kasih dan kebenaran, umat itu oleh-Nya diangkat juga menjadi upaya penebusan bagi semua orang, dan diutus ke seluruh bumi sebagai cahaya dan garam dunia (lih. Mat 5:13-16).

    CATATAN KAKI:
    St. Agustinus, De moribus eccl. 1,3,4: PL 32, 1312
    St. Agustinus, Confessions, 10, 20: PL 32, 791
    St. Thomas Aquinas, Expos. in symb. apost.
    Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
    Stefanus Tay, MTS dan Ingrid Listiati, MTS adalah pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.           
    sumber: katolisitas.org

    Senin, 09 April 2012

    Paus Benedict XVI Ingatkan Kemajuan Teknologi Bukan Segalanya

    Pesan Paskah 2012
    Paus Ingatkan Kemajuan Teknologi Bukan Segalanya


    Minggu, 8 April 2012 | 18:35

    [VATIKAN] Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Paus Benediktus XVI di Basilika St Petrus di Vatikan, Roma, dalam pesan paskahnya menegaskan bahwa kehidupan manusia melangkah di dalam gelap.

    Paus Benediktus XVI mengingatkan umat Kristiani agar tidak kehilangan kemampuan untuk membedakan antara baik dan jahat.

    “Hidup lebih kuat daripada kematian. Kebaikan lebih kuat daripada kejahatan. Cinta kasih lebih kuat daripada kebencian. Kebenaran lebih kuat daripada kebohongan,” kata Sri Paus. Lebih lanjut kepala tertinggi Gereja Katolik itu juga menyampaikan sikap kritisnya terkait kemajuan teknologi.

    "Penggelapan Tuhan dan norma-norma adalah ancaman sebenarnya eksistensi kita dan seluruh dunia. Selama manusia tidak dapat membedakan antara baik dan jahat, semua kemajuan teknologi tetap menjadi ancaman bagi dunia. Pencerahan yang sebenarnya bukan berasal dari kemajuan teknologi, melainkan hanya dari kepercayaan yang ditunjukkan cahaya Tuhan kepada manusia,“ kata Benediktus XVI.

    Pada misa malam Paskah Sabtu (7/2), lebih dari 10.000 orang berkumpul di Basilika Santo Petrus di tengah Kota Vatikan. Misa Paskah itu sesuai tradisi dimulai dengan keadaan gelap gulita.

    Diiringi lagu-lagu rohani kemudian dinyalakan lilin Paskah, dan kemudian diteruskan kepada umat Kristiani lainnya, sampai seluruh gereja diterangi cahaya.

    Puncak rangkaian perayaan Paskah adalah misa di Basilika Santo Petrus Minggu (8/4). Sesuai tradisi, puluhan ribu umat Kristiani dari seluruh dunia menghadiri misa paskah tersebut, yang ditutup dengan pemberian berkat dari Sri Paus “Urbi et Orbi”. Yang berarti berkat dari kota ke seluruh dunia.
    [DW/L-8]

    Bagaimana membentuk OMK dan Pendamping OMK yang Ideal?

    Sebuah Pemikiran untuk Para Pembina OMK
     1.      Pengantar
    Orang Muda Katolik (OMK) Indonesia sebagaimana orang muda pada umumnya ialah penentu masa depan. Gelora semangat orang muda menjadikan orang  yang tidak muda lagi, memiliki berpengharapan. Jika Gereja dan bangsa memiliki orang muda yang bersemangat, penuh kasih, bertanggung jawab, berwatak luhur, beriman, maka sebagian besar dari kita tentu sepakat bahwa kita memiliki masa depan yang cerah, bahwa Gereja kita bukan calon museum belaka, dan bangsa kita bukan calon negara gagal. Tanggungjawab kita-lah untuk menentukan masa depan itu, sebagaimana kita dididik oleh para pendahulu kita sampai menjadi seperti sekarang ini. OMK memerlukan bimbingan dari para pendamping.  Para pembina OMK mesti mewujudkan syukur  atas pendidikan yang mereka terima dengan ikut bertanggungjawab mendidik orang muda demi masa depan. Maka kita mesti mengenal ciri pokok orang muda, dan mengenal apa kompetensi menjadi pendamping OMK.
    2.      Tiga Ciri Orang Muda: Jati Diri, Ketidakpastian, Hubungan-Hubungan
    Jati Diri: OMK dipanggil untuk menjadi dirinya sendiri – yaitu menjadi  diri sendiri seperti yang dikehendaki Tuhan.  Hanya dengan mengetahui jati dirinya sesuai yang dikehendaki Tuhan, maka OMK bisa membangun dunia dan handal. Meminjam kata-kata Santa Katharina dari Siena (1347-1380), “Be who God meant you to be and you will set the world on fire”.
    Namun, orang muda masa kini, tak terkecuali di tempat kita, sedang mengalami ketimpangan biologis-psikososial.   Kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan telah memperpanjang masa muda mereka, dan menunda masa “mentas” mereka. Di alam pedesaan tradisional pemuda dinyatakan lulus dari remaja ke dewasa dengan pernikahan dini. Sekarang orangtua diharapkan untuk merawat orang dewasa muda  lebih lama lagi. Sementara itu perbaikan diet dan kondisi lingkungan yang lebih baik telah mengakibatkan pubertas awal. Jadi, anak-anak secara biologis siap untuk menikah lebih awal daripada di masa lalu, namun kini mereka harus menunda pernikahan karena alasan psikososial. Ada ketimpangan antara perkembangan biologis yang lebih cepat dan kematangan psikososial yang lebih lambat. Pengenalan Jati diri menjadi makin susah dalam situasi ini.

    Ketidakpastian: Dari sisi sosio-ekonomi,  Umat Katolik Indonesia terbagi menjadi dua: sekitar separuh menikmati kesejahteraan yang membuat mereka gampang meraih apa yang mereka inginkan, dan separuh masih berjuang untuk meningkatkan taraf kesejahteraan mereka.  Bagi Orang Muda Katolik (OMK) dari kalangan kaum beruntung, sering ada beberapa pilihan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka. Bagi OMK yang dari kalangan kurang beruntung, hampir tidak ada pilihan sama sekali. Setengah pengangguran atau pindah-pindah kerja (bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang dipelajari) mengalami peningkatan jumlah. Bagi kebanyakan OMK, wajah mereka menampakkan ketidakpastian masa depan.
    Hubungan-Hubungan: Sementara OMK masih bergulat dengan jati diri yang tak kunjung jelas, dan berjuang mendapatkan pekerjaan, maka OMK harus belajar membangun relasi antar-pribadi dalam keluarga, teman sebaya dan menemukan jodoh atau panggilan hidup (mau pacaran dan menikah, atau melajang, atau selibat demi Kerajaan Allah?). Suatu relasi-relasi yang membelit mereka dan bisa membingungkan jika tidak didampingi secara bijaksana. Mereka membutuhkan relasi yang bermakna, bukan hanya “just for fun” maupun main-main.
    3.      Dunia Kita
    OMK, seperti sebagian dari kita juga, hidup dalam beberapa dunia. Tidak aneh, karena kita ini multidimensional. Sekularisasi yang baik membawa di dalamnya cara pandang buruk sekularistik: penyembahan dewa-dewi ilmu pengetahuan (idols of science), teknologi dan kemajuan wahana elektronika, pengejaran tiada henti atas pertumbuhan ekonomi, agama konsumeristis dengan “katedral-katedral shopping mall”, proses peningkatan budaya, bukan saja gaya hidup impor dan perilaku, atau jeans dan KFC yang tampak fisik, namun juga penerimaan tanpa sadar atas nilai-nilai konsumeristis dalam budaya instan dan budaya “klik copy-paste”.

    Sekarang, giliran kita berpikir. Bagaikan permainan bola sodok, manakah bola putih  yang ketika kita sodok, maka akan mengenai bola-bola lainnya? Manakah yang pertama-tama kita bidik, agar OMK bisa memecahkan aneka masalah mereka sekaligus membuat mereka beranjak dewasa?  Saya setuju dengan pandangan bahwa semua persoalan mesti kita dekati mula-mula dengan Spiritualitas. Namun spiritualitas yang mana? Tentu saja Spiritualitas Katolik/Kristiani, dengan mengindahkan spiritualitas lokal kita yang khas sebagai bangsa Indonesia atau Asia Tenggara, atau khas Asia. Karena Yesus orang Asia dan para nabi pun tiada beda dengan-Nya, ialah orang Asia.
    4.      Spiritualitas Dialog

    Gereja mengharapkan OMK tangguh imannya dan tanggap –peduli terhadap keprihatinan masyarakat. ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan warga masyarakat khususnya yang miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan OMK pula ” (bdk GS 1). Jika kunci yang bisa membuka pembinaan OMK ialah spiritualitas, maka spiritualitas dialog merupakan jalan utama menuju pembinaan OMK di berbagai pembinaan.
    Sekarang, dialog merupakan cara satu-satunya bagi perdamaian dan bahkan bagi pembentukan karakter manusia. Karena itu, dengan memperhatikan ciri-ciri dan konteks di atas, kita hendaknya mengembangkan spiritualitas dialog sebagai dasar dari pembinaan OMK.
    5.      Jago Kandang Saja ?
    Ada ungkaan mengatakan: ”OMK itu jago kandang saja. Beraninya berkokok di kandang sendiri seperti ayam jantan kate, tidak berani bergaul dengan kelompok di luar kelompoknya sendiri.” Benarkah? Ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya. Jika demikian, prinsip-prinsip kaderisasi macam apa yang dibutuhkan untuk menjawab harapan OMK yang beriman mendalam dan tangguh serta berani terlibat dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang plural ini?
    Saya menawarkan spiritualitas dialog sebagai landasan kaderisasi. Spiritualitas yang pada dasarnya tidak asing bagi OMK, yaitu yang mengalir dari dialog Allah sendiri dengan manusia, melalui Yesus Kristus Putera-Nya dalam Roh Kudus. OMK sendiri harus mengalami hidup nyata yang dibimbing oleh-Nya, mengalami Allah dalam kehidupan. Mereka mesti diajak refleksi untuk menemukan makna iman atau nilai kehidupan tertentu dalam peristiwa dan perjumpaan dengan sesama yang beraneka ragam.
    Setelah prinsip dasar spiritualitas, barulah menyusul aneka kemampuan lainnya untuk diberikan dalam kursus kaderisasi. Namun demikian, kaderisasi sejati bukan pada kursus kaderisasi yang hanya empat-lima hari atau satu minggu atau satu bulan. Tidak demikian. Kaderisasi sejati ada dalam pendampingan OMK terus menerus sampai mereka mentas. Biarkan mereka mengalami sendiri dinamika hidup itu, kemudian didampingi dengan mengajak mereka merefleksikan pengalaman dalam Tuhan, lalu beraksi kembali dan seterusnya. Inilah prinsip ”see-judge-act” yang menjadi pokok pendampingan dan kaderisasi. Sebenarnya, inti kaderisasi sederhana saja, yaitu penemuan jatidiri yang dikasihi dan dikehendaki Allah untuk berbuat nyata dalam kehidupan yaitu mau berdialog dengan realitas kemiskinan, dialog dengan realitas budaya-budaya dan dialog dengan agama-agama. Intinya, OMK yang berbuat kebaikan konkret.
    6.      Pendamping yang Tangguh

    Di balik sosok OMK yang tangguh dan berkiprah dalam masyarakat, ada pendamping yang tangguh pula. Tak mungkin seorang pemain sepakbola berprestasi tanpa seorang pelatih yang bertangan dingin dan berpengalaman. Maka yang diperlukan sekarang ialah para pendamping yang sadar akan jati dirinya sebagai pendamping, mengalami kasih Allah sendiri dan mengasihi OMK. Justru sekarang, fokus kami Komisi Kepemudan KWI ialah para pendamping yang kami cita-citakan: memiliki pengalaman rohani yang dalam, mau belajar mengembangkan diri, memiliki hati dan cinta yang besar untuk OMK yang didampingi, serta menjadi teladan dalam menggereja dan memasyarakat. Para pendamping itu pertama-tama ialah orangtua dalam keluarga. Berikutnya ialah para pendamping yang ditugasi oleh paroki serta keuskupan. Sedangkan kami membantu melengkapi dengan pendidikan para pendamping di tingkat regio dan keuskupan.
    7.      Kemampuan Pembina: 
    Penggerak (Animator), Pendamping (Chaplain), Pembina/Pemimpin (Leader)
    a.      Penggerak (Animator)
    Kemampuan yang dituntut dari seorang penggerak adalah:
    a.      Kepribadian: mengenal diri (kecenderungan psikologis, seksual-hormonal, sosial-budaya sekitar); daya empati-simpati; daya juang, ingin lebih maju/ menanggapi secara positif.
    b.      Hidup Rohani: punya kemauan untuk makin mengenal Kristus dlm GerejaNya (keinginan menggeluti Kitab Suci, Sakramen, pernah mengerti dokumen Gereja dan beberapa kutipan penting).
    c.       Hidup Intelektual: keingintahuan (indikasi: membaca, menulis). Menguasai bidang minat tertentu..
    d.      Berminat pada Pergaulan – Budaya – Kesenian – dan Badan yg sehat
    e.      Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas
    f.        KETRAMPILAN :
    §         memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.
    §         memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang
    §         memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas

    b.      Pendamping (Chaplain)
    Memiliki Kemampuan Dasar Penggerak ditambah beberapa hal berikut ini:
    a.      Kepribadian: Daya Tahan (asertif), terbuka terhadap perkembangan, memiliki penguasaan diri secara emosional.
    b.      Rohani: Mulai mengalami kedalaman relasi dengan Kristus dalam Gereja-Nya
    c.       Penghubung antar komunitas
    d.      Ketrampilan memotivasi agar yang didampingi berani maju / Public appearance meyakinkan.
    c.       Pembina/Pemimpin (Leader)
    Memiliki kemampuan Penggerak + Pendamping  ditambah hal-hal berikut ini:
    a.      Kepribadian: Daya ubah dari dalam (transformatif) menuju keadaan rendah hati.
    b.      Rohani: Kemampuan menangkap rahmat untuk tetap tinggal bersama Kristus dalam GerejaNya pada situasi tekanan, kesimpangsiuran,  maupun kesepian rohani yang akut. Mulai menjadi pesan Injil, bukan hanya penyampai pesan Injil. Menjadi tanda harapan. Berserah, semua untuk Tuhan saja. Demi makin besarnya kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa OMK (bdk. St Ignatius Loyola, ”Latihan Rohani”no 23, azas dan dasar), yang bisa diartikan demi makin besarnya  OMK yg kupimpin.
    c.       Intelektual: Visioner dan memiliki kebijaksanaan.
    8.      Penutup
    Sebagai pembina OMK, kita di tingkat mana? Semoga Pembina OMK mendampingi Orang Muda Indonesia, bersemangat dan terampil menyambut estafet kepemimpinan dan pembudayaan Gereja Katolik dan bangsa Indonesia sekarang dan ke depan.

    Jakarta, Februari 2012
    (Penulis: Yohanes Dwi Harsanto Pr, Imam Keuskupan Agung Semarang, saat teks ini diunggah masih bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif  Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia/KWI. Teks ini diolah ulang dari teks sama yang dimuat di Majalah ”Inspirasi” bulan Oktober 2011. Pemikiran ini diilhami oleh tantangan Dr John Manford Prior SVD, dalam makalah untuk FABC Office of Laity and Family Southeast Asia 2 Consultation Meeting on Youth: “ Youth and Asian Spirituality” Juni 2011)