Sabtu, 18 Februari 2012

Apa dasar ajaran Gereja Katolik: Bunda Maria diangkat ke surga?

Apa dasar ajaran Gereja Katolik: Bunda Maria diangkat ke surga?

Sejak Kapan Gereja disebut Gereja Katolik?

Sumber: katolisitas.org


Istilah ‘katolik‘ merupakan istilah yang sudah ada sejak abad awal, yaitu sejak zaman Santo Polycarpus (murid Rasul Yohanes) untuk menggambarkan iman Kristiani,[1] bahkan pada jaman para rasul, sebagaimana dicatat dalam Kitab Suci. Kis 9:31 menuliskan asal mula kata Gereja Katolik (katholikos) yang berasal dari kata “Ekklesia Katha Holos“. Ayatnya berbunyi, “Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.” (Kis 9:31). Di sini kata “Katha holos atau katholikos; dalam bahasa Indonesia adalah jemaat/ umat Seluruh/ Universal atau Gereja Katolik, sehingga kalau ingin diterjemahkan secara konsisten, maka Kis 9:31, bunyinya adalah, “Selama beberapa waktu Gereja Katolik di Yudea, Galilea, dan Samaria berada dalam keadaan damai. Gereja itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.”
Namun nama ‘Gereja Katolik’ baru resmi digunakan pada awal abad ke-2 (tahun 107), ketika Santo Ignatius dari Antiokhia menjelaskan dalam suratnya kepada jemaat di Smyrna 8, untuk menyatakan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja satu-satunya yang didirikan Yesus Kristus, untuk membedakannya dari para heretik pada saat itu -yang juga mengaku sebagai jemaat Kristen- yang menolak bahwa Yesus adalah Allah yang sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia. Ajaran sesat itu adalah heresi/ bidaahDocetisme dan Gnosticisme. Dengan surat tersebut, St. Ignatius mengajarkan tentang hirarki Gereja, imam, dan Ekaristi yang bertujuan untuk menunjukkan kesatuan Gereja dan kesetiaan Gereja kepada ajaran yang diajarkan oleh Kristus. Demikian penggalan kalimatnya, “…Di mana uskup berada, maka di sana pula umat berada, sama seperti di mana ada Yesus Kristus, maka di sana juga ada Gereja Katolik….”[2]. Sejak saat itu Gereja Katolik memiliki arti yang kurang lebih sama dengan yang kita ketahui sekarang, bahwa Gereja Katolik adalah Gereja universal di bawah pimpinan para uskup yang mengajarkan doktrin yang lengkap, sesuai dengan yang diajarkan Kristus.
Kata ‘Katolik’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, katholikos, yang artinya “keseluruhan/ universal“; atau “lengkap“. Jadi dalam hal ini kata katolik mempunyai dua arti, yaitu bahwa: 1) Gereja yang didirikan Yesus ini bukan hanya milik suku tertentu atau kelompok eksklusif yang terbatas; melainkan mencakup ‘keseluruhan‘ keluarga Tuhan yang ada di ‘seluruh dunia’, yang merangkul semua, dari setiap suku, bangsa, kaum dan bahasa (Why 7:9). 2) Kata ‘katolik’ juga berarti bahwa Gereja tidak dapat memilih-milih doktrin yang tertentu asal cocok sesuai dengan selera/ pendapat pribadi, tetapi harus doktrin yang setia kepada ‘seluruh‘ kebenaran. Rasul Paulus mengatakan bahwa hakekatnya seorang rasul adalah untuk menjadi pengajar yang ‘katolik’ artinya yang “meneruskan firman-Nya (Allah) dengan sepenuhnya…. tiap-tiap orang kami nasihati  dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus.” (Kol 1:25, 28)
Maka, Gereja Kristus disebut sebagai katolik (= universal) sebab ia dikurniakan kepada segala bangsa, oleh karena Allah Bapa adalah Pencipta segala bangsa. Sebelum naik ke surga, Yesus memberikan amanat agung agar para rasulNya pergi ke seluruh dunia untuk menjadikan semua bangsa murid-muridNya (Mat 28: 19-20). Sepanjang sejarah Gereja Katolik menjalankan misi tersebut, yaitu menyebarkan Kabar Gembira pada semua bangsa, sebab Kristus menginginkan semua orang menjadi anggota keluarga-Nya yang universal (Gal 3:28). Kini Gereja Katolik ditemukan di semua negara di dunia dan masih terus mengirimkan para missionaris untuk mengabarkan Injil. Gereja Katolik yang beranggotakan bermacam bangsa dari berbagai budaya menggambarkan keluarga Kerajaan Allah yang tidak terbatas hanya pada negara atau suku bangsa yang tertentu.
Namun demikian, nama “Gereja Katolik” tidak untuk dipertentangkan dengan istilah “Kristen” yang juga sudah dikenal sejak zaman para rasul (lih. Kis 11:26). Sebab ‘Kristen’ artinya adalah pengikut/murid Kristus, maka istilah ‘Kristen’ mau menunjukkan bahwa umat yang menamakan diri Kristen menjadi murid Tuhan bukan karena sebab manusiawi belaka, tetapi karena mengikuti Kristus yang adalah Sang Mesias, Putera Allah yang hidup. Umat Katolik juga adalah umat Kristen, yang justru menghidupi makna ‘Kristen’ itu dengan sepenuhnya, sebab Gereja Katolik menerima dan meneruskan seluruh ajaran Kristus, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus dan para rasul, yang dilestarikan oleh para penerus mereka.

Wehea_Arti Sebuah Nama

Dalam beberapa tulisan dalam blog ini, kami selalu menuliskan nama Kecamatan Muara Wahau sebagai Kecamatan Muara Wehea.

Benarkah nama tersebut? Demikian sebuah pertanyaan yang muncul dan disampaikan kepada admin blog ini. 
Mencoba untuk menukil sebuah pepatah lama, apalah arti sebuah nama, mungkin sudah tidak tepat sebenarnya. Mengapa? Karena nama, adalah sebuah identitas yang sangat berharga, dan tentulah pula makna yang dalam dari sebuah nama tersebut.

Pertanyaan berikutnya muncul lagi, mengapa Muara Wehea? Bukankah yang berlaku saat ini adalah Kecamatan Muara Wahau? Seuah pertanyaan yang muncul dan menurut kami sebagai sebuah bentuk nyata dari sebuah rasa ingin tahu, karena mungkin minimnya informasi yang tersedia, dan bisa jadi, juga karena belum mengetahui fakta sejarahnya, sehingga apa yang berlaku saat ini, sebenarnya merupakan sebuah kesalahan terstruktur yang memang telah lama tercipta, sehingga telah pula menguburkan arti dari nama yang seharusnya dan sebenarnya.

Terkait dengan penulisan kami yang menggunakan Kecamatan Muara Wehea, semuanya datang dan lebih karena fakta sejarah, bahwa penyebutan yang ada hingga kini adalah sebuah kesalahan fatal yang juga mungkin dilakukan secara sengaja, atau bahkan direncanakan secara sistematis, dengan mengabaikan kaidah-kaidah penggalian fakta sejarah yang sebenarnya, atau yang minimal mendekati kebenaran.

Disamping itu, memang tidak ada nama tersebut dalam setiap kata dalam bahasa setempat, yang merupakan penduduk tempatan dan telah berabad-abad mendiami wilayah ini, khususnya pada 2 bantaran sungai yang ada, yaitu Sungai Wehea dan Sungai Tlan (biasa disebut Sungai Telen).

Bagi orang-orang tua, baik yang berada di Desa Nehas Liah Bing, Long Wehea dan Diaq Leway, maupun di 3 desa asli di Sungai Tlan (Dea Beq, Diak Lay dan Bea Nehas), apabila akan ke pusat kecamatan yang biasa disebut saat ini, mereka selalu menyebutkan bukan nama itu, tetapi nama sebenarnya, yaitu Lebeng (artinya: Muara) Wehea.

Dalam beragam topik diskusi yang pernah dilakukan, untuk menggali fakta sejarah yang sebenar-benarnya, selalu disebutkan, bahwa nama yang ada saat ini adalah sebuah kesalahan, karena yang benar adalah Lebeng (Muara) Wehea.

Jadi, menjawab pertanyaan dari sang penanya, dan sekaligus buat para pembaca yang mungkin merasa bingung dengan penamanaan yang benar dan sebenarnya, hendaklah kita mulai menggunakan nama sebenarnya, sekaligus juga untuk mendudukan kebenaran yang sesuai dengan fakta-fakta sejarah.

Sekali lagi, karena nama adalah sebuah identitas, dan dengan identitas itulah kita dikenal, bukan dalam sebuah samaran, yang justru akan menghilangkan bahkan menguburkan fakta sejarah itu sendiri..........selamat membaca dan mulailah untuk menuliskan nama Kecamatan Muara Wahau dalam sebuah sebutan yang sebenarnya bernama Kecamatan Muara Wehea.....


Jumat, 17 Februari 2012

Gereja Katolik Santa Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing_Wehea_Kaltim



Perkembangan Pembangunan Gereja Katolik Santa Maria Ratu Damai
Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wehea, Kutai Timur

Memasuki periode Pebruari 2012, pembangunan Gereja Katolik Santa Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing_Kecamatan Muara Wehea_Kutai Timur_Kaltim, telah menyelesaikan seluruh pilar utamanya.
Gedung Pastoran di belakang Gereja Paroki yang baru (dok_18_peb_2012)
Berdasarkan pantauan lapangan, saat ini, terlihat para pekerja sedang menyelesaikan pengecoran lantai sambil menunggu datangnya rangka baja untuk tiang dan atap bangunan gereja.

Hartono, selaku pimpro dari proyek pembangunan tersebut mengatakan bahwa tidak ada kendala berarti dalam proses pembangunannya dan berharap agar semuanya dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan target penyelesaian yang telah disepakati bersama.

Pilar dan Lantai Gereja yang sedang dikerjakan  (dok_18_peb_2012)
Sementara itu, pada sisi barat, tampak telah berdiri sebuah bangunan lain, yaitu Pastoran Paroki yang menghadap langsung kearah gereja, dimana pada saat ini (pebruari 2012) telah mulai memasuki tahap finishingnya.
BangGedung Gereja_tampak samping (dok_18_peb_2012)

Pembangunan Gereja Katholik Santa Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing tersebut dapat selesai pada periode Juli 2012, yang nantinya juga diharapkan dapat langsung digunakan.

Dengan dilaksanakan pembangunan gereja yang baru, diharapkan mampu mengatasi membludaknya umat setiap kali ibadat Misa maupun pada perayaan Natal dan Paskah, yang selama ini tidak dapat tertampung pada Gereja Lama.

Kompleks seluas 2.5 hektar tersebut diharapkan menjadi Pusat Pelayanan Pastoral yang representatif dalam Keuskupan Agung Samarinda, khususnya dalam wilayah Paroki Santa Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing, yang tersebar dalam 18 stasi di 4 kecamatan, yaitu, Kecamatan Muara Wehea, Kung Beang, Telen dan Batu Ampar.

Pastor Thomas Sudarmoko, SVD, selaku Pastor Paroki Santa Maria Nehas Liah Bing menyatakan harapannya bahwa, dimasa depan, kompleks paroki tersebut juga akan dilengkapi dengan sebuah gedung serba guna (Gedung Paroki), tetapi menurutnya yang paling mendesak pada saat ini adalah gereja dan pastoran.

Kompleks Gereja Santa Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing tersebut memiliki letak yang cukup strategis danhanya berjarak sekitar 1 km dari jalan trans Kaltim serta mudah dijangkau, baik dari Kampung Nehas Liah Bing serta beberapa kampung lainnya di Sungai Telen, maupun dari arah desa-desa eks-transmigrasi.



Sejarah Pembangunan Gereja Katolik Santa Maria Nehas Liah Bing

Sejak dekade 1950-an, Misi Agama Katolik telah masuk ke Desa Nehas Liah Bing, sedangkan pelayanan pastoralnya dilakukan oleh para misionaris yang bertugas di Samarinda. Pada masa-masa awal, pelayanan pastoran dilakukan di rumah-rumah warga di Kampung Nehas Liah Bing hingga dekade 1980-an.

Bersamaan dengan semakin intensifnya kunjungan para misionaris ke wilayah tersebut, serta dengan ditetapkannya Long Segar sebagai Pusat Paroki di Kecamatan Muara Wehea, pelayanan pastoral ke wilayah tersebut dan daerah sekitarnya menjadi cukup mudah, walaupun pada masa itu akses transportasi hanya dapat dilalui lewat sungai.

Pada akhir dekade 1980-an, kemudian secara bergotong-royong, umat mulai menginisiasi secara swadaya, khususnya untuk membangun Gereja Stasi Santa Maria Ratu Damai di Nehas Liah Bing yang juga dilengkapi dengan Pastorannya. Pembangunan gereja stasi serta pastoran akhirnya selesai pada awal dekade 1990-an.

Sementara itu, perkembangan umat pada tahun 1990-an semakin meningkat, seiring dengan kehadiran beberapa perusahaan swasta yang beroperasi di sekitar Nehas Liah Bing, dimana banyak pekerjanya yang juga sebagai pemeluk Katolik.

Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 2005, seiring dengan semakin membaiknya akses transportasi melalui jalur darat, Stasi Nehas Liah Bing akhirnya ditetapkan sebagai Pusat Paroki, sehingga secara otomatis, pusat paroki sebelumnya di Desa Long Segar juga berubah menjadi gereja stasi.

Bersamaan dengan ditetapkannya sebagai pusat paroki dengan pastor paroki kala itu adalah Pater Remygius Ukat, SVD, kemudian mulai diinisiasi sebuah rencana besar untuk membangun gedung gereja yang baru yang lebih representatif sebagai pusat pengembangan Katolik di wilayah ini, sehingga pada tahun 2007, dimulailah proses pembangunan gereja baru yang lokasinya berdekatan dengan lapangan sepak bola atau berjarak sekitar 200 meter dari gereja sebelumnya, dan peletakan batu pertama dilakukan langsung oleh Uskup Agung Samarinda, yang mulia Mgr. Sului Florentinus, MSF.

Dengan swadaya umat yang luar biasa, akhirnya, fondasi gereja dapat terbangun. Tetapi pembangunan di lokasi tersebut bukan tanpa kendala. Banjir yang sering melanda Desa Nehas Liah Bing, juga seringkali menggenangi lokasi rencana gereja baru tersebut, sehingga pada tahun 2011, bersamaan dengan dengan pergantian pastor paroki dari almarhum Pater Remygius Ukat, SVD, ketangan Pater Thomas Sudarmoko, SVD, mulai juga dipikirkan bagaimana mengatasi kendala-kendala tersebut.

Berbagai upaya terus dilakukan untuk mencari alternatif lokasi lain terkait dengan rencana pembangunan gereja, dan akhirnya dengan peran yang luar biasa dari Bapak Heang Tung serta dibantu oleh beberapa tokoh lainnya seperti Liah Mad dan Booq Bit, akhirnya diperoleh peluang untuk mendapatkan lokasi baru.

Melalui sebuah komunikasi yang sangat singkat, Bapak Lan Song, akhirnya bersedia untuk menyerahkan sebagian lahannya seluas 1.5 hektar untuk menjadi lokasi baru bagi pembangunan gereja.

Pertanyaan baru kemudian muncul, dimana dengan dana swadaya serta bantuan keuskupan yang telah dikeluarkan untuk pembangunan gereja pada lokasi sebelumnya tentu akan menjadi sia-sia dan mubasir, sementara proses penggalangan dana melalui partisipasi umat pun kadang-kadang sering tersendat.

Dengan kondisi yang demikian, telah menciptakan sebuah situasi yang sangat dilematis, khususnya bagaimana cara untuk memulai, sehingga sebuah “keajaiban” datang sekaligus membawa kabar gembira, dimana beberapa donatur bersedia untuk membiayai proses pembangunan gereja hingga selesai termasuk dengan pastorannya.

Puji Tuhan, akhirnya bersamaan dengan terjadinya kesepakatan bersama antara para pihak, diantaranya para donatur, serta pelaksana kegiatan pembangunan dan disaksikan pastor paroki, pembangunan gereja baru yang dilakukan di lokasi yang baru dapat terwujud.