Sabtu, 08 Desember 2012

Sambutan Pastor Paroki Terkait Pemberkatan Gereja Baru



PALMA NON SINE PULPERE
TIDAK ADA KEBERHASILAN TANPA JERIH PAYAH

P. Thomas Sudarmoko, SVD


 Misionaris Perintis   
Menilik sejarah perjalanan gereja di Paroki St. Maria Ratu Damai Nehas Liah Bing, tidak terlepas dari para misionaris perintis di wilayah ini. Sebut saja misalnya P. Bong, MSF dan P. Huvang MSF. Mereka inilah di awal tahun tujuhpuluhan yang mengawali misi Gereja Katolik di Paroki ini. Menurut catatan buku baptis, baptisan pertama di stasi Diaq Lay. Pelayanan kala itu dilayani dari Paroki Katedral Samarinda. Tahun 1986 para misionaris SVD melanjutkan misi ini dengan pelayanan dari Tenggarong, baru pada tahun 1989 Paroki didirikan di Long Segar. Para pastor SVD yang pernah melayani seperti P. Frans Tena, SVD, P. Felik Mado, SVD, P. Paulus Payong, SVD,P. Ambrosius Pantola, SVD, P. Hendrik Meko, SVD, P. Gaby Madja, SVD, P. Remygius Ukat, SVD, dll. Dalam kurun waktu 1987-2003 pusat paroki di Long Segar, baru pada tahun 2003 pusat paroki pindah ke Nehas Liah Bing. Alasan kepindahan ini lebih pada alasan praktis, di mana konsentrasi umat berada di sekitar kecamatan wahau.
Perkembangan umat pun luar biasa, seiring dibukanya perusahaan-perusahaan, seperti pepatah ada gula ada semut, demikian pula banyak orang yg datang ke tempat ini mengais rezeki, membuat pertambahan jumlah umat juga sangat pesat. Beberapa stasi baru terbentuk. Gereja pusat paroki hampir tidak bisa menampung jemaat lagi, terlebih pada perayaan besar umat meluap sampai ke jalan-jalan dan lapangan sekolah. Melihat kondisi demikian almarhum P. Remy beserta dewan merencanakan pembangunan Gedung Gereja baru yang letaknya dekat lapangan Desa Nehas Liah Bing, tapi karena satu dan lain hal, proses itu agak tersendat.
Pemindahan Lokasi Bangunan
Semula tidak ada rencana sedikitpun untuk memindahkan lokasi bangunan, yang ada adalah melanjutkan pondasi yang sudah ada dengan memperluas lahan, karena lahannya terlalu sempit dan mudah terkena banjir. Ketika  melakukan negosiasi dengan pemilik lahan, sang pemilik meminta terlalu mahal, hingga kami mengatakan tidak berani membelinya. Hingga pada suatu sore ketika kami (saya, fr. Romy, SVD dan Kris Joka) berangkat tourne melintas di hulu kampung Selabing saya melihat lahan kosong yng masih semak belukar di tempat yang tinggi dan bebas banjir. Saya nyletuk: Bagaimana kalau gereja dipindah di sini saja ya?” saya menunjuk sebelah kiri jalan dari arah Selabing. Kata Kris Joka:” Sebelah kiri itu dekat sungai pastor, bagusnya sebelah kanan saja”. Lalu kami sambil jalan berdiskusi. Saya merasa sangat tertarik dengan lokasi itu.
 Pulang dari tourne, saya kumpulkan beberapa tokoh umat untuk mengidentifikasi lahan milik siapa, bermasalah atau tidak, dan bagaimana cara bisa mendekati pemilik itu supaya mau menjual untuk Gereja. Awalnya cukup alot karena pemilik tidak mau menjual, tapi dengan diberi pemahaman oleh beberapa tokoh umat (Pk. Siang, Pk. Heang Tung, Pk. Bit Tot) dan dengan bantuan doa devosi kepada Arnoldus Janssen ( pendiri SVD), pemilik itu mau menjual, dan tidak lama berselang setelah prosedur semua dilalui lalu dilakukanlah transaksi jual beli. Setelah itu dilakukan penggusuran meratakan lahan,dalam hal ini Pak Siang Geah menjadi koordinator lapangan yang luar biasa. Tidak lama setelah itu ada lagi yang menawarkan tanah yang nyambung dengan lokasi ini. Sehingga lahan ini terjadi dua kali pembelian dalam satu hamparan.
Modal Nekat
Setelah memiliki lahan yang bagus, masalahnya adalah bagaimana membangun? Ini yang membuat pusing tujuh keliling. Dengan keyakinan ala St. Arnoldus yakni bahwa dana ada di kantong para penderma, maka gerakan itu kami mulai. Saya mulai kontak sana-sini untuk dapat donasi. Setelah itu maka proses pembangunan pun dimulai. Namun untuk memulai pembangunan ini tidak gampang. Saya pastor muda, baru beberapa bulan menjabat sebagai pastor paroki, sehingga saya pun belum berpengalaman sebagai pastor paroki, apalagi membangun bangunan besar, sehingga wajar banyak orang meragukan saya. Saya harus dua kali datang ke Samarinda untuk menjelaskan tentang pembangunan ini. Pertama saya datang sendiri, Ketika itu Bp. Uskup Agung sedang Ad Limina (Menghadap Paus) di Roma, maka saya menghadap P. Yan Ola, Pr. Dengan garang Beliau membentak saya.” Siapa yang menjadi jaminan pembangunan ini?”. Saya Bingung mau jawab apa, saya pikir siapa lagi kalau bukan saya sebagai pastor paroki. Maka saya jawab sekenanya:”Saya, Pastor”. Makin Marahlah Beliau. ” Memangnya Kamu tidak Bisa Mati?!”. Beliau bertanya sambil membentak dengan kacamata miring dan mata melotot. Mendapat pertanyaan diluar dugaan dengan cara demikian membuat saya gugup dan down. “Minggu depan bawa dewanmu untuk menjelaskan pembangunan ini di rapat dewan konsultores”. Demikian kesimpulan pertemuan itu. Saya keluar ruangan P. Yan Ola di Bina Insan dengan lesu. Saya terbayang jalan yang buruk kala itu,maklum waktu itu curah hujan tinggi sekali, kondisi jalan Samarinda-Wahau sangat buruk dan jaraknya sangat jauh, sampai 2 atau 3 hari baru tembus. Saya capek, lelah, mudik lagi, turun lagi, bawa dewan lagi, nginap-nginap di jalan karena antrean kendaraan akibat jalan buruk, sedangkan saya dalam kondisi sakit diabetes yang lagi kambuh. Saya hampir putus asa:”untuk apa saya bangun gereja kalau hanya stress begini?” Memang kalau tidak mau stress jangan buat apa-apa.
Dengan perasaan galau, esoknya saya mudik. Hari Sabtu tiba di Paroki, Minggu sesudah pimpin misa, Kami berangkat ke Samarinda lagi untuk menghadap Dewan Konsultores. Kali ini saya di temani Pk. Siang Geah dan Pk. Kristian Paipinan. Kami Tiba Senin Malam, dan Esoknya kami disidang. Setelah diskusi yang cukup alot, Bapa Uskup Agung memberi angin segar dan dukungan kepada kami, ini membuat kami semangat. Akhirnya kami disetujui untuk memulai pembangunan. Padahal waktu itu proses pembangunan sudah dimulai. Pulang ke Wahau kami menginap di jalan karena hujan, jalan buruk dan licin sehingga mobil tidak bisa tembus. Keesokan harinya, siang setelah jalan kering baru kami lanjutkan perjalanan, itupun dengan susah payah, sehingga malam baru bisa sampai. Ooohhhh, betapa lelahnya....gula langsung naik drastis.
Proses Pembangunan
Pada tanggal 20 Oktober 2011 peletakan batu pertama itu dimulai. Mengingat waktu yg mendesak dan kondisi jalan buruk itu, kami dengan terpaksa tidak meminta Bp. Uskup meletakkan batu pertama pembangunan, tapi saya letakkan sendiri dan tentu dihadiri oleh umat.  Dalam peletakan itu saya selipkan juga batu yg saya bawa dari Danau Galilea di mana Yesus mengatakan kepada Petrus:” Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Jemaat-Ku”. Dengan doa:” Ya Bapa, Berkatilah semua orang yang membantu proses pembangunan ini, dan kutuklah orang yang menghalang-halangi pembangunan ini” Rupanya doa ini cukup manjur, kelak sampai pembangunan selesai lancar-lancar saja, tanpa ada yang mengganggu. Semua berjalan lancar, ada kendala tapi dapat diatasi.
Kini, setelah satu tahun proses pembangunan ini, akhirnya hari ini tanggal 06 Desember 2012, gedung gereja dan pastoran diberkati dan di resmikan oleh Bp. Uskup Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus, MSF. Bagi yang tidak aktif terlibat, hanya melihat hasil tanpa melihat proses, memang gampang, tetapi bagi orang yang terlibat aktif, betapa proses pembangunan ini tidak mudah, melelahkan, belum lagi mengurus pelayanan umat yang wilayahnya luas dan medannya menantang, sendirian, sakit-sakitan, memang tidak gampang. Memang benar kata pepatah bahasa latin kuno: ”Palma Non Sine Pulpere”, tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan.
Dalam kesempatan yang baik ini saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.             Tuhan yang telah campur tangan dalam proses pembangunan ini sehingga berjalan lancar.
2.             Mgr. Sului Florentinus, MSF. Dan Dewan Consultores yang selalu memberi dukungan kepada kami.
3.             Para donatur yang senantiasa membantu kami dalam proses pembangunan ini.
4.             Pihak Kontraktor dan para tukang yang telah mengerjakan bangunan ini
5.             Seluruh DPP, DPS dan semua umat yang terlibat dalam pembangunan ini.

Dengan diberkati dan diresmikannya pembangunan ini bukan berarti semua menjadi selesai, melainkan masih banyak pekerjaan lain yang telah menanti. Pembangunan lain yang bersifat fisik maupun yang bersifat rohani. Semoga gedung gereja ini dapat membantu semua orang yang datang untuk mencari dan menemukan Allah dalam doa-doa mereka. Oleh karena itu gereja ini bukan milik satu kelompok, melainkan milik semua umat tanpa membedakan latar belakang suku, adat dan budaya. Dan dalam kesempatan ini saya secara khusus mau mengucapkan banyak terima kasih dan mengapresiasi penuh kepada Bpk. Emerikus Siang Geah yang telah all out membantu saya, konsisten dan memiliki loyalitas dan komitmen tinggi terhadap gereja, kapan saja beliau saya perlukan selalu siap sedia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar